Setiap 26 Desember per 2013 saya dan keluarga di Balikpapan pergi ke makam mertua laki-laki saya alias papanya istri saya. Makam mertua saya berada di pemakaman khusus Katolik yang juga daerah pemakaman umum Kilo 15.
Barangkali lho. Barangkali juga berbeda dengan berziarah ke makam tokoh-tokoh agama, semisal makam nabi atau penyiar agama di suatu daerah.
Pada perkembangan zaman yang terjadi, berziarah ke makam tokoh-tokoh agama telah dikelola dan dikemas oleh biro perjalanan wisata swasta menjadi "wisata relijius". Ya, pengelolaan tersebut memadukan antara ziarah dan wisata, yang ternyata disukai sebagian kalangan penganut agama terkait.
Mengenai satu ini, dalam artikel "Interpreter dan Wisata Ziarah di Lampung" (Fajar Sumatera, 30/6/2016) Eko Sugiarto menyebutnya sebagai "wisata ziarah". Wisata ziarah, tulis Eko, merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang umumnya dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat, dan kepercayaan umat atau kelompok tertentu. Tujuan orang melakukan wisata ziarah umumnya adalah untuk berdoa.
Dalam artikel “Duta Wisata Masa Depan” (Fajar Sumatera, 25/8/2015) Eko juga mengajak kedua anaknya berkunjung ke sebuah kompleks pemakaman pada suatu waktu. Kompleks pemakaman yang mereka kunjungi adalah Taman Makam Seniman Budayawan Girisapto di Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Itulah cara yang sering saya gunakan (jika memang memungkinkan) untuk memperkaya pengetahuan anak-anak terhadap apa yang sudah mereka peroleh di bangku sekolah,” tulisnya.
Apakah salah, keliru, bahkan sesat apabila ziarah dipadukan dengan wisata sejarah, atau seperti sebutan Eko, yaitu "wisata ziarah"?
Melalui artikel ini saya tidak tertarik untuk berasumsi pada benar-salah dan sekitarnya. Saya hanya tertarik pada perpaduan antara ziarah dan wisata sejarah, khususnya sejarah paling kecil, yaitu keluarga. Bukan pula wisata sejarah terkait dengan suatu daerah atau kota, semisal Kota Wisata Sejarah Muntok, Bangka Barat.
Makam, bagi saya, merupakan sebuah artefak atau bukti fisik suatu sejarah. Makam orang tua atau leluhur pun merupakan sebuah artefak sejarah, khususnya sejarah keluarga. Dengan adanya makam, di situlah bukti fisik sejarah yang paling hakiki, kecuali kompleks pemakaman digusur, terkena bencana alam, atau tenggelam karena aktivitas tertentu semacam lumpur Porong, Sidoarjo, Jatim.
Kata "ziarah" yang bermakna kontempelatif-reflektif, tentu saja, agak "berat" dilakoni, khususnya oleh anak-anak. Padahal, dengan berziarah ke makam kakek-nenek atau leluhur justru merupakan upaya mengingatkan anak-anak pada sejarah keluarganya sendiri.
Lantas, bagaimana "ziarah" bisa menjadi kesenangan seluruh anggota keluarga?
Mau-tidak mau, konsep biro perjalanan wisata bisa digunakan juga. Berziarah ke makam menjadi kesukaan. Berziarah menjadi pengingat sejarah keluarga sehingga dari generasi ke generasi "tidak lupa pada akarnya". Berziarah sebagai upaya melawan lupa dan penyadaran pada hakikat hidup. Berziarah ke makam keluarga tidaklah perlu dianggap sebagai beban, melainkan bagian dari kesenangan bersama. Dan seterusnya.
Di luar konsep itu, saya bisa belajar lagi mengenai perbedaan dalam penataan makam dari sekian tahun usang ke tahun-tahun sekarang. Penataan tahun usang itu begitu, dan tahun sekarang ini begini. Bentuknya dulu begitu dan berbeda dengan kini. Lalu sebaiknya bagaimana agar ziarah dan wisata bisa semakin aduhai, ya, memang perlu direncanakan lebih apa lagi. Kesemuanya mengerucut kepada kepentingan bersama bagi orang-orang yang hidup.
Maka begitulah pemikiran saya mengenai perpaduan ziarah-wisata sejarah melalui kunjungan ke makam keluarga. Barangkali pemikiran saya ini terlalu sederhana. Ah, barangkali lagi.
*******
Balikpapan, 26 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H