Kata "ziarah" yang bermakna kontempelatif-reflektif, tentu saja, agak "berat" dilakoni, khususnya oleh anak-anak. Padahal, dengan berziarah ke makam kakek-nenek atau leluhur justru merupakan upaya mengingatkan anak-anak pada sejarah keluarganya sendiri.
Lantas, bagaimana "ziarah" bisa menjadi kesenangan seluruh anggota keluarga?
Mau-tidak mau, konsep biro perjalanan wisata bisa digunakan juga. Berziarah ke makam menjadi kesukaan. Berziarah menjadi pengingat sejarah keluarga sehingga dari generasi ke generasi "tidak lupa pada akarnya". Berziarah sebagai upaya melawan lupa dan penyadaran pada hakikat hidup. Berziarah ke makam keluarga tidaklah perlu dianggap sebagai beban, melainkan bagian dari kesenangan bersama. Dan seterusnya.
Di luar konsep itu, saya bisa belajar lagi mengenai perbedaan dalam penataan makam dari sekian tahun usang ke tahun-tahun sekarang. Penataan tahun usang itu begitu, dan tahun sekarang ini begini. Bentuknya dulu begitu dan berbeda dengan kini. Lalu sebaiknya bagaimana agar ziarah dan wisata bisa semakin aduhai, ya, memang perlu direncanakan lebih apa lagi. Kesemuanya mengerucut kepada kepentingan bersama bagi orang-orang yang hidup.
Maka begitulah pemikiran saya mengenai perpaduan ziarah-wisata sejarah melalui kunjungan ke makam keluarga. Barangkali pemikiran saya ini terlalu sederhana. Ah, barangkali lagi.
*******
Balikpapan, 26 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H