Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar Kembali tentang HAM di Kupang

10 Desember 2018   22:04 Diperbarui: 12 Desember 2018   11:19 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tugu yang ini pun sering disebut sebagai Tugu Pancasila, Tugu Kemerdekaan, atau Monumen Titik Nol Kota Kupang. Disebut sebagai Tugu Pancasila karena juga terdapat lima lingkaran yang berisi lima butir Pancasila dengan ejaan lama, yaitu Ke-Tuhanan Jang Maha Esa, Peri-Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakjatan, dan Keadilan Sosial.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Sedangkan pada bagian baratnya atau menghadap ke Jalan Pahlawan tertera Sumpah Pemuda 1928, yaitu 1. Satu Bangsa; 2. Satu Bahasa; 3. Satu Bendera; 4. Satu Tanah Air; 5. Satu Lagu Kebangsaan.

Nah (lagi), begitulah hal mengenai Tugu HAM. Pada 10 Desember 2018 malam saya mengikuti kegiatan peringatan Hari HAM Sedunia di kota yang baru saja mendapat peringkat ke-7 dalam Indeks Kota Toleran versi Setara Institute (7/12) itu hingga tuntas tanpa bekas pada pkl. 21.30 WITA. Ada lilin menyala, umbar uneg-uneg mengenai realitas terkait HAM, baca puisi, mengheningkan cipta, dan kontempelasi.

Dokpri
Dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
Dokpri
Dokpri
Suasana di sekitar Tugu HAM sedang ramai karena merupakan jalur lalu lintas dalam kota, bahkan memang di sekitar situlah awal Kota Kupang. Suara kami harus "bertempur" dengan gempuran suara kendaraan yang melintas karena kami tidak menggunakan pengeras suara buatan-elektronik.

Terus terang, saya pun justru belajar kembali tentang sejarah HAM di tempat yang tepat. Ini yang paling istimewa bagi saya!

Kota dan para pejuang HAM di Kupang memang "wajib" diapresiasi, selain diketahui oleh orang-orang Indonesia. Hal-hal terkait dengan HAM tentu saja "wajib" dipahami dan disadari sekaligus dipraktikkan dalam tata pergaulan warga negara Indonesia karena masih saja terjadi pelanggaran HAM itu, semisal penembakan terhadap 31 pekerja pembangunan jembatan di Kali Yigi dan Kali Aurak, Kab. Nduga, Papua di pada Senin, 3/12, yang seorang korbannya bernama Emanuel Beli Bano Naektias berasal dari Kota Kefa, Kab. Timor Tengah Utara (TTU), NTT.

Meski tidak setragis Emanuel, saya sendiri pernah mengalami ancaman (intimidasi-persekusi) dari seorang "tokoh budaya" suatu daerah tanpa persoalan genting-krusial yang patut dipungkasi sebagai  sebuah pelanggaran HAM bahkan berat. "Hebat"-nya, ancaman itu tidak pernah dianggap luar biasa oleh sebagian tokoh budaya lainnya, malah si pengancam mendapat dukungan. Mungkin "melanggar" HAM juga bagian dari budaya mereka, walaupun berstempel "budayawan". 

Saya kira itu saja yang bisa saya sampaikan melalui artikel ini. Semoga hal-hal terkait dengan HAM tidak melulu basa-basi yang diperingati selama 1 hari dalam 365 hari lalu senyap tanpa bekas.

*******

 Kupang, 10 Desember 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun