Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lion Air, Trauma, dan Terserah Takdir

9 Desember 2018   11:35 Diperbarui: 9 Desember 2018   17:19 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

5-8 Desember saya pulang ke kampung halaman (Kampung Sri Pemandang Atas) di Sungailiat, Bangka (Babel) dalam rangka memperingati 1.000 hari meninggalnya bapak saya, Joseph Slamet Soedharto (5 November 1929 -- 11 Maret 2016). Mengenai kepulangan ini, saya telah singgung dalam artikel "Menyerahkan Diri Seutuhnya pada Sebuah Penerbangan" (30/10/2018).

Ya, saya pulang dari Kupang, NTT, menggunakan maskapai penerbangan Lion Air Group. Semula, penerbangan Koe (Kupang)-Pgk (Pangkalpinang) menggunakan Lion Air. Namun, karena ada perubahan waktu penerbangan Koe-Cgk (Cengkareng) dengan nomor penerbangan JT 695, saya beralih ke Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6541. Masih Lion Group juga, 'kan?

Untuk penerbangan Cgk-Pgk, tetap menggunakan Lion Air dengan nomor penerbangan JT 618. Bangku penumpang tidak ada yang kosong. Meski "agak" terlambat, selama dua penerbangan itu sama sekali tanpa gangguan teknis, dan biasa saja setiba saya di Bandara Depati Amir pada pkl. 17.30 WIB.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Sementara istri saya sudah tiba terlebih dulu (selisih 30 menit) dari Balikpapan dengan maskapai Sriwijaya Air. Dia memesan tiket Sriwijaya Air pasca-jatuhnya Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Dan, pasca-tragedi Lion Air (29/10/2018) dia pun sempat menanyakan, apakah saya mau menggantikan tiket dari Lion Air ke maskapai penerbangan lain yang lebih aman. Saya tetap dengan apa yang sudah ada (kesepakatan dengan pihak penjual tiket daring/online).

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Saya tidak pernah khawatir mengenai keselamatan dalam penerbangan. Yang saya khawatirkan hanyalah tiket jika maskapai penerbangan itu ditutup sebelum saya pulang dan pergi lagi. Bisa ribet urusannya, 'kan? Terlebih biaya tidaklah sedikit karena saya bukanlah tergolong orang berduit (saban bulan menerima gaji atau memiliki uang berjuta-juta rupiah di rekening tabungan), dan 1.000 hari tidaklah bisa diundur/ditunda. 

Trauma Tingkat Provinsi

Jatuhnya pesawat Lion Air berjenis Boeing 737 Max 8 yang berjurusan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng -- Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, memang meninggalkan trauma bagi sebagian orang, terlebih orang dari Pulau Bangka. Mengenai ini pun saya dengar secara langsung dari kakak saya, Antonius Wahyudi, yang menjemput saya dan istri.

Kecelakaan yang menelan nyawa semua orang dalam pesawat itu merupakan kejadian pertama kali untuk penerbangan ke Pulau Bangka. Selama 3 hari bendera setengah tiang berkibar. Selama 1 minggu pihak Pemprov Babel membatalkan semua perjalanan dinas ke luar pulau dengan pesawat terbang. Orang-orang Bangka lainnya pun tidak mau menggunakan pesawat Lion Air selama beberapa hari kemudian.

Pasca-tragedi itu kakak saya pun sempat mengalami trauma "tingkat provinsi", terlebih harus melakukan perjalanan dinas ke luar pulau dengan menggunakan pesawat terbang yang mengalami "sedikit" gangguan. 

Saya maklum karena, faktanya, ada kawannya yang menjadi korban. Juga kawan sekolah anaknya, kawan kakak sulung saya, kawan saudara-saudara saya, dan lain-lain. Akan tetapi ia tidak bisa berkomentar ketika mengetahui bahwa saya menggunakan Lion Air untuk pulang, atau "mengingatkan" saya agar tidak menggunakan Lion Air lagi, termasuk kalau saya kembali ke Kupang.  

Selama berada di kampung halaman, cerita seputar tragedi Lion Air masih berdengung. Ya, wajar saja, karena saya menceritakan kepada saudara atau kawan-kawan saya bahwa saya pulang dan akan pergi lagi (ke Kupang) dengan pesawat Lion Air.

Sebelum Lion Air JT 610, sebagian orang Indonesia masih mengingat jatuhnya pesawat  Adam Air dengan nomor penerbangan 576 (KI 574, DHI 574) jurusan Jakarta-Surabaya-Manado setelah melanjutkan penerbangan (transit) dari Surabaya pada 1 Januari 2007. Adam Air jatuh di perairan Majene, Sulawesi Barat. Di dalamnya terdapat 96 penumpang yang terdiri dari 85 dewasa, 7 anak-anak dan 4 bayi. Juga 6 awak (pilot, co-pilot, dan pramugari), dan 3 warga Amerika Serikat.

Terserah Takdir

Mungkin saya tergolong konyol (fatalis) karena berprinsip hidup "tergantung takdir", "tergantung nasib" atau "terserah takdir". Ibu saya adalah orang pertama yang medengar secara langsung mengenai prinsip hidup saya itu pada 1987 ketika saya akan menghadapi EBTANAS SMP karena kebandelan saya yang luar biasa. 

Kebandelan itu terlihat pada nilai rapor saya yang banyak angka merahnya. Hanya saja, meskipun ketika ujian saya sedang sakit (mata merah atau belekan) Nilai Ebtanas Murni (NEM) saya ternyata sesuai dengan target dari orang tua saya apabila saya mau bersekolah di Jawa, bahkan melampui NEM saudara-saudara di Bangka yang rajin belajar.

Sewaktu mendengar kabar bahwa saya pulang dengan pesawat Lion Air, ibu pun tidak berkomentar atau "cemas". Padahal, biasanya, seorang ibu kandung akan cemas jika mendengar berita sebuah kecelakaan, dan lain-lain. 

Contohnya berita gempa yang terjadi di kawasan Indonesia timur, dimana saya sedang berada di Kupang, beberapa kali ibu saya menelepon untuk mengetahui kabar terbaru saya. Contoh paling mutakhir, ya, ketika saya menyampaikan bahwa saya akan kembali ke Kupang dengan pesawat Lion Air lagi.

Mungkin di Bangka keluarga besar saya bingung ketika mendengar dari saya sendiri bahwa saya tidak mempunyai trauma pada penerbangan, meski istri saya "sedikit" tertular trauma. Maklum sajalah, prinsip hidup saya memang begitu adanya sejak 1987. Pulang ke kampung halaman untuk memperingati 1.000 hari meninggalnya bapak saya (6/12/2018) pun tidak terlepas dari hakikat takdir, 'kan?

Bagi saya, persoalan teknis sebuah maskapai penerbangan memang sangat penting-mendesak (urgent) untuk diperhatikan, diperiksa, dipantau, dikontrol, dan seterusnya karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Standard-standard teknis penerbangan sangat tidak layak disepelekan bahkan dilecehkan dengan isu-isu, misalnya penggunaan ponsel dalam penerbangan, candaan "ada bom di pesawat", dan lain sebagainya.

Selain itu saya pun pernah bekerja di sebuah perusahaan bonafid. Tentu saja, saya belajar mengenai keselamatan (safety) dalam bekerja yang tidak diajarkan di bangku kuliah, perencanaan-perancangan bangunan, dan lain-lain. Utamakan keselamatan (safety first) merupakan slogan yang selalu berkibar melalui spanduk di tempat saya bekerja dulu.

Akan tetapi, tentang hidup-mati bukanlah sekadar slogan "utamakan keselamatan" atau hukum positif-formal. Kalau "kontrak bekerja" saja ada batas waktunya, "kontrak hidup" juga demikian, 'kan? Soal cepat-lambat, siapa pula yang mengetahuinya, 'kan?

Yang penting, bagi saya, apakah seseorang siap sampai pada takdirnya (meninggal dunia), dan apakah orang-orang di sekitarnya siap menerima kenyataan itu. Meninggalnya bapak saya benar-benar membuat saya kehilangan tetapi akan sampai kapan saya larut dalam kedukaan?

Anehnya, sebagai orang bandel-berengsek saya bisa menerima "takdir" (hidup-mati) dalam suatu penerbangan, entah mengapa sebagian orang baik-suci malah mengalami trauma seakan takut mati. Bukankah orang baik-suci akan masuk surga jika meninggal dunia?

Begitu saja yang bisa saya sampaikan setelah tiba di Kupang, pkl. 22.00 WITA. Penerbangan sejak dari Bandara Depati Amir dengan nomor penerbangan JT 617 hingga El Tari dengan nomor penerbangan JT 696 tadi malam itu tetap penuh penumpang, dan sama sekali tanpa kendala teknis ataupun "gangguan" semisal getaran aneh.

*******

Kupang, 9 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun