Kemudian seorang pria berumur sekitar 65-70 masuk. Pria terlihat renta itu bertopi, berkaus kerah, dan bercelana tanggung (10 cm di bawah dengkul). Tidak terendus aroma wewangian. Penampilannya sangat jauh dari kesan perlente.
Petugas tadi langsung berdiri, beranjak ke samping kursi, dan menyilakan pria renta itu menempati kursinya. Lalu pria itu duduk di depan saya.
Teman-teman,
Kok saya tidak diajak ke sebuah ruang yang sesuai dengan fungsinya, ya? Kok malah di ruang pemasaran dan di meja itu?
Sudahlah. Saya tidak perlu berpikir sesuai dengan standard. Saya langsung saja menyampaikan maksud kedatangan saya. Tidak lupa pula nama Lia saya sebutkan sebagai pemilik rumah baru sekaligus pengutus saya untuk tahap awal komplain.
Pria itu menyarankan saya untuk melihat ke lokasi. Saya tanggapi dengan berkas yang saya bawa. Artinya, saya sudah meninjau lokasinya, dan ada rekam jejaknya.
Pria itu menyarankan lagi. Aduhai sekali!
Saya tidak perlu mengikuti saran itu karena berkas sudah saya siapkan. Kalaupun pria itu ngotot sekaligus mengutus pekerjanya untuk meladeni saya di lokasi, tetap tidak perlu saya ladeni. Ya, jangan sampai pekerjanya justru malu sendiri karena hasil kerja perusahaannya benar-benar mengenaskan dalam standard minimal apalagi mutu optimal.
Saya membuka berkas saya. Saya mulai dari teras saja dengan menunjukkan selisih tampilan keramik lantainya. Saya pikir, dari teras saja sudah bisa memulai banyak hal mengenai mutu pekerjaan developer ini.
Tidak sampai lima menit saya terdiam karena pria itu berkata, "Kami menjual itu saja. Masih banyak yang mau membeli. Kalau tidak jadi membeli, uang kami kembalikan."
Teman-teman,
Seketika saya langsung berhenti. Saya melihat wajah bapak tua itu tidak mau melanjutkan peladenan (pelayanan) terhadap konsumen, yang saya wakilkan. Apalagi dua kali pria itu berkata, "Kalau tidak jadi membeli, uang akan kami kembalikan."
Saya pun tidak perlu bertanya soal "uang kembali" beserta mekanismenya karena bukan wewenang saya dalam penugasan.