Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Berkolaborasi dengan Kompasiana

3 November 2018   19:34 Diperbarui: 4 November 2018   03:58 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggalian untuk fondasi telapak beton

Selamat ulang tahun, Kompasiana. Semoga selalu ada (eksis), bahkan kian luar biasa.

Begitulah doa sederhana dari saya. Sekitar 5,5 tahun saya sudah merasakan dan mewujudkan betapa pentingnya Kompasiana dalam perjalanan tulis-menulis saya. Buku kumpulan "Artikel Utama" di Kompasiana, "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) adalah bukti-saksinya.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Seperti yang pernah saya sampaikan (27/3/2018), tiga hal saja yang menjadi motivasi saya untuk berkarya sekaligus menjadikan Kompasiana sebagai mitra (media) penyiaran karya saya. Melatih berpikir dan menyampaikan pemikiran. Menabung karya. Menikmati tanggapan yang suka-tidak suka.

Sekarang sudah bulan ke-11. November. Sebentar lagi Desember. Sebentarnya lagi 2018 berganti 2019. Semua segera berlalu.

Waktu melaju tanpa peduli pada siapa pun. Waktu memiliki dunianya sendiri. Lantas, apa yang kemudian bisa dicatatkan?

2018 saya sudah catatkan pada buku pertama. Di situ ada rekam jejak berkolaborasi dengan Kompasiana, di samping penanda 5 tahun berkarya. Sangat istimewa bagi saya sehingga saya benar-benar menyisihkan waktu, tenaga, pikiran, dan dana untuk mengabadikan kerja sama tersebut.

Bukan sekadar menulis, dan memajang tulisan di Kompasiana. Bukan sekadar berdebar-debar ketika menunggu ganjaran stempel, baik "Artikel Utama" (Headline) maupun "Pilihan" (Highlight), bahkan sama sekali tanpa menyandang stempel apa-apa.

Semua tulisan saya tidaklah selesai di sana. Setelah itu saya mengumpulkannya kembali sebagai pertanggungjawaban diri saya terhadap pilihan hidup saya sendiri. Dan seterusnya seperti yang tertulis dalam artikel "Totalitas dalam Berkarya" (25/2/2018).

2019 sedang berdandan di luar jendela. Kupang sudah mulai turun hujan sejak 20 Oktober, meski mendung telah menggoda pada 17 dan hujan pertama hanya gerimis. Mungkin, 2018 akan dipungkasi dengan hujan bertubi-tubi.

Saya tidak bisa menatap 2019 cuma dengan menopang dagu. Di sela-sela kesibukan dengan penggalian berbatu karang untuk fondasi cakar ayam (telapak beton/footplate) dan desain ulang pasca-pembongkaran bangunan lama (eksisting), saya berusaha menyiasati sisa waktu dengan tulis-menulis untuk mengisi tabungan karya di Kompasiana.

Pembongkaran bangunan eksisting
Pembongkaran bangunan eksisting
Penggalian untuk fondasi telapak beton
Penggalian untuk fondasi telapak beton
Tidak cukup sampai di tulis-menulis, dan berdebar-debar ketika menunggu hasil pembacaan redaktur Kompasiana. Saya menggunakan secuil waktu untuk merancang perwajahan sampul calon buku-buku saya sendiri. Ya, memang sendiri, dan aduhai sekali!

Untuk 2019 saya sudah menyiapkan bilik data berisi tulisan-tulisan berstempel "Artikel Utama" dan "Pilihan". Setiap bilik memiliki spesifikasi. Sementara artikel berstempel "Artikel Utama" terbaru, saya siapkan juga, meski belum bisa saya pastikan waktunya untuk menjadi sebuah buku seperti buku pertama (2018).

4 judul buku saya siapkan naskahnya agar bisa terbit pada 2019. Arsitek yang Menulis, Korupsi Masuk Surga, Kampanye yang Menyengsarakan, dan Tokoh Hoaks.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Setiap judul buku saya terbitkan dalam jumlah 30 eksemplar saja. Edisi terbatas karena dananya terbatas. Semuanya saya olah-kelola sendiri, dan benar-benar seorang diri. Sungguh aduhai sekali!

Dan, untuk 2019, masih ada calon buku lainnya, yang tidak berhubungan intim dengan Kompasiana. 1 calon buku kumpulan cerpen, "Sambal Belacan Menunggu di Rumah". Sementara proyek penulisan novel "Ombak Asmara Pantai Rambak" dan "Kamus Bahasa Budak Sekaban" sedang mangkrak karena saya harus pulang (mudik) ke kampung halaman untuk "mematangkan" isinya.

Terutama untuk "Kamus Bahasa Budak Sekaban", saya harus berada di kampung halaman selama 3 minggu agar semua kosakata kampung kelahiran bisa saya rekam, dan tuliskan. Proyek satu ini, tentunya, sangat penting bagi saya dalam upaya pelestarian bahasa kampung halaman secara tertulis dan terabadikan.

Tetapi manusia bebas berencana, dan Tuhan saja-lah yang menentukan realisasinya. Saya sepakati dan amini. Yang terpenting, saya tetap berusaha dengan segenap kemampuan diri saya. Saya tidak bisa berharap atau mengandalkan siapa-siapa untuk upaya mewujudkan rencana saya sendiri.

Saya rasa itu saja yang bisa saya tuliskan dalam rangka 10 tahun Kompasiana yang terlambat saya peringati ini. Melalui tulisan sederhana banget inilah, sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih.

*******

Kupang, 3 November 2018  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun