Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Boyo Kok Lali Ngelangi?

2 November 2018   23:34 Diperbarui: 3 November 2018   10:13 722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sepatutnya tidak perlu membandingkan fisik suatu daerah dengan lingkungan fisik tertentu untuk membandingkan kondisi kaya dan miskin. Tetapi kalau itu dilakukan, sebenarnya, sudah kebablasan alias di luar kepatutan.

Hal ini terjadi pada pidato calon presiden (capres) nomor 02 dalam acara peresmian Kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa, 30/10. Sebagian pidatonya menyebutkan nama-nama hotel mewah di Jakarta.

"Kalian kalau masuk mungkin kalian diusir karena tampang kalian tidak tampang orang kaya. Tampang kalian, ya, tampang-tampang Boyolali ini," katanya.

Oh! Mengapa berpidato dengan menyebut "diusir" karena "tidak tampang orang kaya, tampang-tampang Boyolali"?

Apakah kalau bertampang Boyolali lantas lumrah saja "diusir" dari sebuah tempat mewah?

Apakah "tampang Boyolali" sama dengan "tidak tampang orang kaya"? Apakah orang Boyolali pun tidak patut bertampang orang kaya? Apakah orang Boyolali wajar "diusir" atau dipelakukan secara diskriminatif (berdasarkan kelas) begitu?

Pidato itu  sangat tidak patut. Sungguh-sungguh di luar batas kepatutan dalam berpidato dan berkelakar.

Berkelakar yang kebablasen dengan "menertawakan" kondisi ekonomi orang lain bahkan sekelompok orang semacam itu pun pernah dilakukannya. Waktu itu tertuju pada kalangan wartawan di Universitas Bung Karno dalam peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2017.

"Kita juga bela wartawan. Gaji kalian juga kecil, 'kan? Tahu (saya), kelihatan dari muka kalian," ujarnya diikuti gelak tawa.

Pada Minggu, 1/4/2018 di Auditorium Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat dalam acara “Prabowo Menyapa Jawa Barat”, ada ralatnya dengan “menyamakan diri”.

"Wartawan itu sama hatinya dengan kita, karena gajinya kecil, mereka yang gajinya kecil sama kayak kita,” katanya.

Tentunya berbeda sekali dengan di Boyolali. Pada kejadian di Boyolali, kata "diusir", menilaian fisik dikaitkan dengan kemampuan ekonomi ("tidak tampang orang kaya"), dan "tampang-tampang Boyolali" merupakan penilaian fisik yang masuk ranah prasangka (prejudice) dalam psikologi sosial.

Dalam Kamus Sosiologi (1993) Soekanto menyebutnya sebagai "prasangka kelas". Prasangka kelas adalah sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu.

Di Universitas Bung Karno dan Auditorium Bumi Wiyata masih dalam ranah kelas tertentu atau profesi. Sementara di Boyolali itu jangkauannya lebih luas, dan aduhai sekali. Dengan penggunaan sebutan "tidak tampang orang kaya", "tampang-tampang Boyolali",  bahkan kata "diusir", jelas adanya diskriminasi.

Bukan tidak mungkin pemilihan kata "diusir" berpotensi sebagai sebuah legitimasi" atas sikap diskriminatif berupa pengusiran ("diusir") yang wajar-wajar saja di hotel-hotel mewah terhadap orang Boyolali. Aduhai, "diusir", setelah menyandingkan "tidak tampang orang kaya" dan "tampang-tampang Boyolali".   

Menurut Psikolog Sosial David Myers (1999), prasangka (prejudice) adalah pendapat atau penilaian negatif suatu kelompok dan anggota secara individual. Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antarindividu yang baik.

Menurut Ype H. Poortinga (1990), ada tiga faktor dalam prasangka, yaitu stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminatif. Bagaimana menilai orang (bertampang) Boyolali, "tidak tampang orang kaya", dan "diusir" dari suatu lingkungan berkelas "mewah" seperti dalam pidato itu?

Ngilu sekali jika membayangkan suatu hubungan regional-nasional dibangun dengan prasangka hingga seolah wajar-lumrah "diusir" semacam dalam pidato itu, 'kan?

Belum lagi dengan antagonisme kelompok (terhadap orang Boyolali), dan antikolisis (ejekan, sindiran, cibiran, olokan, atau tertawaan terhadap orang Boyolali). Ada aroma rasisme dengan penyebutan "Boyolali". Dalam pidato semacam itu sudah terungkap sisi psikologi sosialnya, dan sangat tidak patut. 

Capres sebagai kontestan untuk kontestasi Pilpras 2019 bukanlah tokoh sembarangan, 'kan? Tetapi mengapa bisa tertawa dengan menyebut "diusir", "tidak tampang orang kaya", dan "tampang-tampang Boyolali" begitu? Apakah memang sudah terbiasa mengolok-olok kondisi sosial orang dan daerahnya? Dan, pendidikan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan macam manakah yang sedang dipertontonkan ke masyarakat umum?

Ora ilok tenan. Tidak patut sekali. Mungkin tulisan ini seakan "mengajari buaya berenang" (mulang boyo ngelangi). Tetapi, nek pancen boyo, lha kok lali ngelangi, to? (Kalau memang buaya, mengapa lupa berenang, sih?)

 

*******

Kupang, 1 November 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun