Tentunya berbeda sekali dengan di Boyolali. Pada kejadian di Boyolali, kata "diusir", menilaian fisik dikaitkan dengan kemampuan ekonomi ("tidak tampang orang kaya"), dan "tampang-tampang Boyolali" merupakan penilaian fisik yang masuk ranah prasangka (prejudice) dalam psikologi sosial.
Dalam Kamus Sosiologi (1993) Soekanto menyebutnya sebagai "prasangka kelas". Prasangka kelas adalah sikap diskriminatif terselubung terhadap gagasan atau perilaku kelas tertentu.
Di Universitas Bung Karno dan Auditorium Bumi Wiyata masih dalam ranah kelas tertentu atau profesi. Sementara di Boyolali itu jangkauannya lebih luas, dan aduhai sekali. Dengan penggunaan sebutan "tidak tampang orang kaya", "tampang-tampang Boyolali", Â bahkan kata "diusir", jelas adanya diskriminasi.
Bukan tidak mungkin pemilihan kata "diusir" berpotensi sebagai sebuah legitimasi" atas sikap diskriminatif berupa pengusiran ("diusir") yang wajar-wajar saja di hotel-hotel mewah terhadap orang Boyolali. Aduhai, "diusir", setelah menyandingkan "tidak tampang orang kaya" dan "tampang-tampang Boyolali". Â Â
Menurut Psikolog Sosial David Myers (1999), prasangka (prejudice) adalah pendapat atau penilaian negatif suatu kelompok dan anggota secara individual. Prasangka merupakan salah satu penghambat terbesar dalam membangun hubungan antarindividu yang baik.
Menurut Ype H. Poortinga (1990), ada tiga faktor dalam prasangka, yaitu stereotip, jarak sosial, dan sikap diskriminatif. Bagaimana menilai orang (bertampang) Boyolali, "tidak tampang orang kaya", dan "diusir" dari suatu lingkungan berkelas "mewah" seperti dalam pidato itu?
Ngilu sekali jika membayangkan suatu hubungan regional-nasional dibangun dengan prasangka hingga seolah wajar-lumrah "diusir" semacam dalam pidato itu, 'kan?
Belum lagi dengan antagonisme kelompok (terhadap orang Boyolali), dan antikolisis (ejekan, sindiran, cibiran, olokan, atau tertawaan terhadap orang Boyolali). Ada aroma rasisme dengan penyebutan "Boyolali". Dalam pidato semacam itu sudah terungkap sisi psikologi sosialnya, dan sangat tidak patut.Â
Capres sebagai kontestan untuk kontestasi Pilpras 2019 bukanlah tokoh sembarangan, 'kan? Tetapi mengapa bisa tertawa dengan menyebut "diusir", "tidak tampang orang kaya", dan "tampang-tampang Boyolali" begitu? Apakah memang sudah terbiasa mengolok-olok kondisi sosial orang dan daerahnya? Dan, pendidikan nilai-nilai persatuan dan kebangsaan macam manakah yang sedang dipertontonkan ke masyarakat umum?
Ora ilok tenan. Tidak patut sekali. Mungkin tulisan ini seakan "mengajari buaya berenang" (mulang boyo ngelangi). Tetapi, nek pancen boyo, lha kok lali ngelangi, to? (Kalau memang buaya, mengapa lupa berenang, sih?)
Â