Jangan menyepelekan tempe dalam politik praktis Indonesia kontemporer! Sebab, ternyata, produk berbahan dasar kedelai ini menjadi salah satu komoditas unggulan dalam kampanye Pilpres 2019.
Hal ini terungkap ketika kandidat nomor 01, Jokowi, blusukan ke Pasar Surya Kencana, Bogor, Selasa, 30/10. Tempe yang dicek dan dibelinya berukuran tebal. "Ya, tebal," ujar Jokowi.
Sebelumnya pasangan kandidat nomor 02, Sandiaga Uno, mengejutkan publik penikmat tempe nasional. Â Pertama, di rumah Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan, Jumat, 7/9, Sandi berkata, "Tempe katanya sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya udah hampir sama dengan kartu ATM."
Kedua, di Pasar Sendiko di Wonodri, Semarang, Senin, 24/9, katanya, "Jadi bukan sampo aja yang saset. Tempe juga begitu."
Ketiga, di Pasar Projosari, Harjosari, Bawen, Kabupaten Semarang, Rabu, 24/10, katanya, "Kini setebal HP jadul. Tidak lagi setipis ATM."
Baru dalam kampanye Pilpres 2019 ini tempe menempati ruang krusial bagi para kontestan. Tidak pernah terjadi pada kampanye pilpres ataupun pemilu sebelum-sebelumnya.
Ya, kedua kandidat yang akan maju dalam kontestasi politik 2019 memang tidak menyepelekan tempe, walaupun tempe sudah disepelekan oleh para penderita asam urat. Selain khasiat dan kandungan gizinya yang bagus (Vitamin B12) sebagai pengganti daging, juga kandungan sejarahnya.
Sekilas Sejarah Tempe dan Politik Tempe
Konon, tempe sudah ada sejak zaman Majapahit. Dalam Serat Centhini (abad ke-18 atau 1814) disebutkan tempe sebagai bahan makanan rakyat pada abad ke-16.
Kemudian "tempe" muncul di era Republik melalui pidato-pidato Presiden I RI, Ir. Soekarno (Bung Karno). Kata-kata mutiara dari butiran kedelai berjamur itu seketika dikenal dan dikenang sebagai bagian dari nasionalisme bangsa Indonesia.
"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita," seru Bung Karno dalam pidato sebelum peletakan batu pertama untuk pembangunan Gedung Fakultas Pertanian di Bogor, 27 April 1952.
"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini-syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak," seru Bung Karno dalam pidato HUT ke-18 RI (17-8-1963).
Istilah "tempe" dalam pidato-pidato presiden pertama yang juga penggemar tempe merujuk pada proses pembuatan tempe tradisional. Pada proses itu kedelai diinjak-injak dalam suatu tempat berisi air agar kulitnya terkelupas.
Sepakat atau tidak, tempe juga merupakan sebuah simbol kemandirian rakyat menengah-bawah dalam upaya menyiasati hidup, baik penghidupan maupun kehidupan.
Penghidupan bagi pembuatnya (produsen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Penghidupan bagi pembeli (konsumen) dan orang-orang sekitarnya dalam pemenuhan gizi-makanan serta pengelolaan ekonomi.
Kehidupan di sini, maksudnya, dalam paduan fisik (raga, kesehatan) dan non-fisik (tatanan sosial-budaya), baik bagi pembuat maupun pembeli, bahkan keterkaitan dengan hubungan sosial sekitarnya.
Tempe, mau-tidak mau, menjadi rujukan kekuatan politik tersendiri bagi Sandi dan Jokowi. Makanan khas Indonesia satu ini memang bukanlah makanan sembarangan. Tempe merupakan makanan yang mampu melintasi aneka perut hingga menembus batas kultural-teritorial (regional-Nusantara), terlebih dalam sensitivitas agama dan identitas tertentu. Â
Di luar negeri, misalnya Amerika Serikat (AS) dan Jepang, sejak 1986 hingga 2018 telah terdapat lebih dari 20 Hak Paten dari segi penelitian hingga racikan-pengolahan. Dari segi kemasan, tempe di Jepang umumnya dikemas dalam plastik.
Sementara di Indonesia tempe berkemasan daun, baik daun pisang maupun daun jati. Hak Paten-nya tidak bisa dimiliki oleh perorangan atau kelompok karena merupakan produksi turun-temurun dan berbeda-beda orang maupun kelompok (produsen) selama lebih dua abad. Pengolahannya pun rata-rata sama.
Berisiknya sebagian orang Indonesia mengenai Hak Paten tempe pernah terjadi pada 2007 ketika tempe-tempe sudah merangsek ke seluruh dunia, dan muncul klaim-klaim Hak Paten sana-sini. Selanjutnya reda karena memang berbeda dalam racikan dan pengolahan, meskipun berbahan dasar sama dan tampilannya mirip.
Memang, bahan baku tempe alias kedelai sudah masuk taraf impor, khususnya dari AS, dan mengalami peningkatan yang signifikan. Hingga 16 Agustus, Indonesia impor (dari AS) sebanyak 2,342 juta ton. Angka ini naik 5,15% dari capaian periode sama tahun lalu di 2,227 juta ton. Lebih rinci lagi, pada sepekan menuju 16 Agustus 2018, ekspor kedelai AS ke Indonesia mencapai 405.200 ton, naik 92,31% dari yoy di 210.700 ton.
Indonesia yang merupakan negara agraris memang ironis dengan perilaku impor kedelainya yang cenderung meningkat. Contohnya periode 1998-2002 mengimpor 414.000 ton, periode 2003-2007 mengimpor 1.198.374 ton, dan 2008-2012 mengimpor 1.592.893 ton. Â Â Â
Bahkan, pada 1996 ada kehebohan soal impor kedelai. Waktu itu Indonesia "terpaksa" menukarkan (barter) pesawat CN 350 produksi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) dengan kedelai.Â
Survei LIPI dan Politik Tempe Kontemporer
"Politik tempe" yang digencarkan Sandi dengan memunculkan istilah "Tempe Setipis ATM" merupakan strategi kampanye yang, bagaimanapun, akhirnya tidak boleh disepelekan oleh Jokowi. Yang juga terkait langsung dengan Jokowi yang dikenal sebagian orang adalah sosok sederhana dan merakyat.
Salah satu hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terungkap bahwa masyarakat lebih memilih capres dengan kategori "sederhana dan merakyat" ketimbang kategori "berwibawa" dan "berpenampilan menarik".
Sebagian hasil yang dipaparkan oleh  Peneliti P2P LIPI Wawan Ichwanuddin dalam temuan survei di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (19/7), menyebutkan, label "sederhana dan merakyat" muncul sebagai kriteria ideal bagi capres.
Kategori tersebut mendapat suara 95,38 persen atau yang paling diinginkan oleh responden. Sementara, kategori "berwibawa" dan "berpenampilan menarik" dalam survei ini mendapat skor 92,19 persen dan 64,05 persen.
Oleh sebab itu, blusukan Jokowi ke pasar dengan menjadikan tempe sebagai salah satu komoditas unggulan untuk kampanye menuju Pilpres 2019 sangatlah "mendesak". Meski terkesan "terlambat" jika dibandingkan dengan gerilya kampanye Sandi, paling tidak, masih tersedia waktu yang cukup sebelum 13 April 2019. Sebab, masih ada komoditas unggulan untuk kampanye selain tempe, 'kan?
******* Â
Kupang, 1 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H