Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Saat Tempe Jadi Komoditas Unggulan pada Kampanye Pilpres 2019

1 November 2018   02:10 Diperbarui: 1 November 2018   17:56 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

"Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini-syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak," seru Bung Karno dalam pidato HUT ke-18 RI (17-8-1963).

Istilah "tempe" dalam pidato-pidato presiden pertama yang juga penggemar tempe merujuk pada proses pembuatan tempe tradisional. Pada proses itu kedelai diinjak-injak dalam suatu tempat berisi air agar kulitnya terkelupas.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Politik Dagang Tempe Internasional

Sepakat atau tidak, tempe juga merupakan sebuah simbol kemandirian rakyat menengah-bawah dalam upaya menyiasati hidup, baik penghidupan maupun kehidupan.

Penghidupan bagi pembuatnya (produsen) dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Penghidupan bagi pembeli (konsumen) dan orang-orang sekitarnya dalam pemenuhan gizi-makanan serta pengelolaan ekonomi.

Kehidupan di sini, maksudnya, dalam paduan fisik (raga, kesehatan) dan non-fisik (tatanan sosial-budaya), baik bagi pembuat maupun pembeli, bahkan keterkaitan dengan hubungan sosial sekitarnya.

Tempe, mau-tidak mau, menjadi rujukan kekuatan politik tersendiri bagi Sandi dan Jokowi. Makanan khas Indonesia satu ini memang bukanlah makanan sembarangan. Tempe merupakan makanan yang mampu melintasi aneka perut hingga menembus batas kultural-teritorial (regional-Nusantara), terlebih dalam sensitivitas agama dan identitas tertentu.  

Di luar negeri, misalnya Amerika Serikat (AS) dan Jepang, sejak 1986 hingga 2018 telah terdapat lebih dari 20 Hak Paten dari segi penelitian hingga racikan-pengolahan. Dari segi kemasan, tempe di Jepang umumnya dikemas dalam plastik.

Sementara di Indonesia tempe berkemasan daun, baik daun pisang maupun daun jati. Hak Paten-nya tidak bisa dimiliki oleh perorangan atau kelompok karena merupakan produksi turun-temurun dan berbeda-beda orang maupun kelompok (produsen) selama lebih dua abad. Pengolahannya pun rata-rata sama.

Berisiknya sebagian orang Indonesia mengenai Hak Paten tempe pernah terjadi pada 2007 ketika tempe-tempe sudah merangsek ke seluruh dunia, dan muncul klaim-klaim Hak Paten sana-sini. Selanjutnya reda karena memang berbeda dalam racikan dan pengolahan, meskipun berbahan dasar sama dan tampilannya mirip.

Memang, bahan baku tempe alias kedelai sudah masuk taraf impor, khususnya dari AS, dan mengalami peningkatan yang signifikan. Hingga 16 Agustus, Indonesia impor (dari AS) sebanyak 2,342 juta ton. Angka ini naik 5,15% dari capaian periode sama tahun lalu di 2,227 juta ton. Lebih rinci lagi, pada sepekan menuju 16 Agustus 2018, ekspor kedelai AS ke Indonesia mencapai 405.200 ton, naik 92,31% dari yoy di 210.700 ton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun