Dalam sebuah musibah, antara korban meninggal, cedera, dan selamat memang seketika bisa sekaligus biasa dikaitkan dengan timbangan keadilan hidup semesta. Persoalannya, sering kali, "keadilan" itu pun bias. Ada ambiguitas paradoks yang serta-merta muncul di permukaan. Padahal, segala sesuatu di antara selamat-celaka itu tidaklah patut justru menjadi ironi dalam tatanan kemanusiaan yang hakiki.
Sepatutnya tidak terjadi ironi. Semakin dekat dengan Tuhan, cinta-kasih justru semakin terungkap dalam tindakan dan perkataan yang sepadan. Korban yang meninggal atau cedera bukanlah hukuman jika dibandingkan dengan korban yang selamat.
Sepatutnya pula, keselamatan korban tidaklah dirayakan besar-besaran ketika kedukaan korban lainnya sedang melanda segenap keluarga besar. Terlalu picik jika bersyukur atas keselamatan itu bersamaan dengan bercucuran duka atas meninggal dunianya pihak lain.
Dan, sering-seringlah berpikir secara waras-umumnya dengan menganggap bahwa korban-korban musibah apa pun sejatinya adalah keluarga kita sendiri. Bagaimana jika keluarga kita sendiri yang mengalami? Sudikah menerima kecaman, bahkan secara nasional-viral, "Keadilan memang perih!", begitu?
*******
Kupang, 31 Oktober 2018 Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H