Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keadilan dari Musibah

31 Oktober 2018   19:26 Diperbarui: 31 Oktober 2018   21:01 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagian kalangan tersenyum sinis ketika jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 berikut seorang jaksa penuntut umum dalam kasus penistaan agama-Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebagian dari kalangan itu pun berkata, "Keadilan lebih perih!"

Terkait dengan senyum sinis mereka adalah sebuah berita yang langsung populer dengan huruf kapital. "TERPOPULER Seorang Penumpang Lion Air JT610 Adalah Jaksa yang Tangani Kasus Ahok", begitulah judulnya di Tribun Jakarta, Selasa, 30/10.

Adalah Andri Wiranofa, Koordinator pada Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung. Sebelum menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air, Andi merupakan seorang di antara 13 Jaksa Penuntut Umum dalam kasus penistaan agama yang menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Dalam musibah penerbangan Jakarta-Pangkalpinang itu Andi bersama istrinya. Tidak seperti biasanya sang istri ikut dalam penerbangan dengannya. "Dua-duanya sekaligus," kecam satu-dua orang.

Keadilan lebih perih. Sungguh perkataan-kecaman yang justru lebih perih. Tidak berbeda dengan komentar perih lainnya terhadap korban bencana alam, misalnya gempa Lombok dan gempa Palu, dengan membawa-bawa "pengadilan" (baca: hukuman) Sang Maha Pencipta.

Sepakat atau tidak, kebencian atau ketidaksukaan terhadap seseorang bahkan sentimenisme politis berpotensi menggerus rasa empati-perikemanusiaan orang bahkan sekelompok orang lainnya. Seseorang yang tidak disukai, dan kemudian menjadi korban suatu peristiwa tragis, malah ditaburi duri-duri mawar.

Miris nan ironis. Itulah yang melingkupi pergaulan sebagian masyarakat Indonesia yang dilanda "mabuk agama" kronis. Semakin tinggi pengetahuan-pemahaman tentang Tuhan, dan semakin tinggi penghargaan kepada Tuhan, tetapi semakin rendah penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, bahkan sebagian sudah tidak memiliki perikemanusiaan.

"Mabuk agama" memang cenderung seolah menampilkan suatu sosok berderajat kemanusiaan "mendekati" Tuhan dengan gerak-gerik dan ucapan penuh ayat suci. Sebentar-sebentar nama Tuhan disandingkan dalam deretan perkataan. Tetapi begitu suatu musibah terjadi pada diri orang bahkan banyak orang, seketika "pemabuk agama" mendakwanya sebagai hukuman Tuhan.

"Mabuk agama", sebenarnya, paling berbahaya daripada mabuk lainnya. Merasa diri dekat dengan Tuhan sekaligus justru menjauhkan dirinya dari realitas kemanusiaan beserta lingkungannya. Lupa daratan, begitulah kira-kira.

"Mabuk" dan "merasa" memang berbahaya. "Mabuk" berarti "tidak sadar" atau di luar kesadaran. "Merasa" berarti anggapan diri sendiri, dan di luar realitas yang hakiki. Keduanya (mabuk-merasa) berkolaborasi sebagai "bahaya laten" terhadap duka-derita di sekitarnya.

Senyum sinis alias kecaman terhadap korban suatu musibah bisa disepakati oleh kalangan pemabuk sebagai suatu kewajaran dan kesaksian tingkat langit. Padahal hal semacam itu sejatinya justru ironis nan miris dalam sisi manusia ber-Tuhan Maha Pengasih-Penyayang.

Dalam sebuah musibah, antara korban meninggal, cedera, dan selamat memang seketika bisa sekaligus biasa dikaitkan dengan timbangan keadilan hidup semesta. Persoalannya, sering kali, "keadilan" itu pun bias. Ada ambiguitas paradoks yang serta-merta muncul di permukaan. Padahal, segala sesuatu di antara selamat-celaka itu tidaklah patut justru menjadi ironi dalam tatanan kemanusiaan yang hakiki.

Sepatutnya tidak terjadi ironi. Semakin dekat dengan Tuhan, cinta-kasih justru semakin terungkap dalam tindakan dan perkataan yang sepadan. Korban yang meninggal atau cedera bukanlah hukuman jika dibandingkan dengan korban yang selamat.

Sepatutnya pula, keselamatan korban tidaklah dirayakan besar-besaran ketika kedukaan korban lainnya sedang melanda segenap keluarga besar. Terlalu picik jika bersyukur atas keselamatan itu bersamaan dengan bercucuran duka atas meninggal dunianya pihak lain.

Dan, sering-seringlah berpikir secara waras-umumnya dengan menganggap bahwa korban-korban musibah apa pun sejatinya adalah keluarga kita sendiri. Bagaimana jika keluarga kita sendiri yang mengalami? Sudikah menerima kecaman, bahkan secara nasional-viral, "Keadilan memang perih!", begitu?

*******

Kupang, 31 Oktober 2018      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun