Beberapa kawan muda di sekitar saya sedang sibuk mengisi formulir pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) secara daring (online). Tidak ketinggalan pula yang berasal dari luar kota, atau sebaliknya, mudik untuk mendaftar.
Di media daring saya pun membaca berita tentang generasi milenial yang "dipaksa" oleh orang tua mereka untuk ikut mendaftar CPNS. Ada juga yang ingin menyenangkan hati orang tua.
Saya pernah mengalaminya ketika berada di kampung halaman, dan ada pembukaan pendaftaran CPNS meski belum secara daring. Orang tua angkat saya "menyuruh" saya mendaftar CPNS. Salah satu "senjata" yang dipakai oleh orang tua angkat saya adalah "kasihan pada orang tua kandung saya".
Mungkin orang tua angkat saya sudah mengetahui kabar bahwa dua kali saya menolak anjuran kakak kandung saya untuk menempati sebuah kursi honorer di pemprov. Kakak kandung saya memang sudah berstatus PNS di pemprov.
"Untuk teman-teman Mas saja," jawab saya ketika itu karena saya konsisten dengan anti-KKN, khususnya nepotisme.
Saya yakin, baik kakak kandung saya, orang tua kandung, maupun keluarga besar saya kecewa atas penolakan saya, bahkan dua kali. Sementara jiwa saya sendiri merasa tidak "terpanggil" untuk menjadi PNS, terlebih ketika beberapa kali saya masuk-keluar kantor sebuah dinas untuk urusan tertentu dan melihat situasi di sana.
Tetapi, "suruhan" orang tua angkat dengan "senjata sakti" itu, mau-tidak mau, saya turuti saja. Maka berangkatlah saya ke ibu kota sebuah kabupaten baru (pemekaran) yang sedang membuka pendaftaran, dan ada posisi yang sesuai dengan latar ijazah terakhir saya.
Kebetulan di kota itu ada kakak angkat saya, yang pernah disekolahkan oleh orang tua saya, dan tinggal lebih 5 tahun di rumah kami. Kakak angkat saya ini termasuk paling dekat pada masa kecil saya, bahkan ketika di awal masuk TK, dia-lah yang mengantar-jemput saya.
Selama mendaftar hingga mengikuti ujian, saya tinggal di rumah kakak angkat. Di sebelah rumahnya juga tinggal anak sulung kawan ibu saya (kawan di RS UPTB, Sungailiat). Saya pun tidak merasa asing dengan situasi di tempat itu.
Pada waktu pendaftaran saya melihat ketersediaan kursi untuk bidang saya. Ada 6 kursi. Kemudian, ketika ujian, saya melihat peserta untuk bidang itu jumlahnya 16 orang. Artinya, kemungkinan (probabilitas) untuk kesempatan lolosnya 3:8 atau 0,375%.
Ujian CPNS ketika itu pun, bagi saya, sangatlah mudah saya kerjakan. Dalam sejarah saya mengikuti ujian, khususnya masuk perguruan tinggi sampai lebih 3 kali di beberapa tempat, ujian CPNS terhitung paling mudah.
Baiklah. Berikutnya saya tinggal menunggu pengumuman hasilnya. Saya tetap tinggal di rumah kakak angkat saya sambil menikmati suasana kekeluargaan dengan kakak angkat saya yang lama sekali tidak saya alami sejak saya pergi ke Jawa selama sekian tahun.
Hari yang ditunggu pun tiba. Saya berangkat ke tempat pengumuman. Ternyata saya tidak lolos, bahkan semua pesaing (15 orang) tidak lolos.
Kabar mengenai ketidaklolosan saya segera saya sampaikan kepada orang tua saya, baik orang tua kandung maupun orang tua angkat. "Mungkin bukan nasib saya", begitu sambil saya berharap keluarga besar saya menerima kenyataan itu.
Tetapi, ketika saya sedang berkunjung ke rumah tetangga kakak angkat saya yang juga anak sulung kawan ibu saya, saya mendapat kabar bahwa sebenarnya saya lolos dalam ujian. "Ada faktor X sampai kamu gagal," kata adik bungsunya.
Lho, kok tahu, ada faktor X? "Aku dapat bocoran dari seseorang," katanya.
Baiklah. Apa pun itu, terserahlah. Saya biarkan saja "takdir" saya "mengalir" ke mana.
Lalu saya pun pulang ke kampung halaman saya. Dan beberapa hari kemudian seorang kawan lama saya, tepatnya kakak kelas saya, berkunjung ke rumah orang tua saya. Dia bercerita tentang hal-hal terkait masuk CPNS, pengangkatan adik sepupu saya sebagai PNS dari honorer, dan sekitarnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, di sebuah tempat, saya bertemu dengan beberapa PNS yang sedang santai pada hari libur. Kebetulan saya baru mudik, juga untuk berlibur selama sekian minggu.
Dari obrolan sana-sini, sampailah pada suatu tawaran untuk saya.
"Masih berminat menjadi PNS, nggak," tanya seorang di antaranya.
"Umur saya sudah..."
"Masih berminat, nggak," ulangnya.
"Masih-lah."
Dia segera menelepon seseorang. Mereka terlibat obrolan yang serius, dan menyebut-nyebut nama saya, pendidikan, dan pengalaman kerja saya. Â Â
Selesai berbicara via ponsel, dia langsung berkata pada saya, "Tunggu panggilan, ya? Siapkan berkas-berkasmu."
Saya tidak perlu menunggu lama. Dua hari kemudian saya segera kembali ke luar daerah sekaligus mengakhiri masa mudik-libur saya.
Ya, saya tidak jadi menerima "tawaran" itu. Saya pun minta maaf karena harus kembali ke tempat kerja di luar pulau. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih kepadanya.
Beberapa tahun kemudian saya menikah dengan orang Balikpapan, Kaltim. Secara langsung saya pun memulai kehidupan baru di Kota Minyak. Ternyata istri dan ipar-ipar saya pun tidak mau menjadi PNS.
Takdir memang selalu menjadi misteri kehidupan. Menjadi atau tidak sebagai PNS bukanlah hal yang penting bagi saya, meski kemudian sebagian saudara saya justru "pening" melihat saya sambil mengatakan bahwa saya tidak mau diuntungkan. Toh, jodoh saya justru nun jauh dari Pulau Halaman. Toh, saya pernah berusaha demi "menyenangkan" orang tua saya.
Yang jelas, kalau saya dulu menjadi PNS, kemungkinan terbesar adalah saya tidak akan bisa sampai di Kupang, dan menikmati kebersamaan secara langsung dengan sebagian orang NTT dalam acara NTT Expo 2017 dan lain-lain. Bukan begitu, Nyong-Nona?
*******
Kupang, 16-30 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H