Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Biarkan Anak-anak Datang dan Berkumpul

28 Oktober 2018   19:34 Diperbarui: 31 Oktober 2018   03:46 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tentang Sekolah Minggu dan Katekisasi yang akan "dipasung" oleh negara melalui Pasal 69 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, saya menggeleng-geleng. Heran, dan merasa konyol sendiri.

Entah apa yang sejatinya menyelinap dalam benak sebagian wakil rakyat di Komisi VIII DPR RI yang membidangi keagamaan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada waktu mengusulkan  RUU itu.

Kabarnya, dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, pengaturan sekolah minggu itu tampak pada upaya pengusulan agar pendidikan non-formal agama-agama diatur dalam UU. Setidaknya ada 3 ayat di Pasal 69 yang menyebutkannya.

Ayat (1), katanya, Sekolah Minggu dan Katekisasi termasuk jalur pendidikan non-formal agama Kristen. Ayat (3), katanya lagi, jumlah peserta didik pendidikan non-formal agama Kristen itu paling sedikit 15 orang. Ayat (4), katanya, penyelenggaraan sekolah minggu harus mendapat izin dari pemerintah Kabupaten/Kota.

Tak pelak, usulan dalam RUU itu disambut petisi "Negara Tidak Perlu Mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi" di Change.Org, yang ditujukan untuk Ketua DPR, Komisi VIII DPR, dan Presiden Joko Widodo. Ada puluhan ribu penanda tangan petisi.

Saya menggeleng-geleng saja. Orang-orang yang sama sekali tidak pernah mengamati, apalagi aktif-andil justru berupaya mewujudkan undang-undang yang terkait dengan Sekolah Minggu dan Katekisasi. Ya, seumpama gerombolan orang dewasa di sebuah pulau nun alangkah jauh lalu hendak berkunjung ke pulau lain sambil membawa aturan bermain untuk anak-anak di pulau lain itu.

Padahal di pulau lain itu anak-anak berkumpul karena para orang tua sedang khusyuk beribadah seusai enam hari bergumul dengan suka-duka menghidupi kehidupan. Anak-anak dilayani oleh beberapa orang dewasa untuk menikmati kebersamaan dengan sebaya. Sambil tetap bermain dalam kegirangan kanak-kanak, mereka belajar menikmati kebaikan Tuhan atas sekian waktu hidup dalam dinamika sosial terkecil dalam kelompoknya.

Anak-anak yang lugu-polos. Mereka bergantian mengungkapkan perasaan mengenai hidup mereka sendiri dengan kesaksian, nyanyian, dan lain-lain. Tidak ada kepentingan orang dewasa yang patut melolosi kepolosan anak-anak dengan kecurigaan dan kegalauan para orang tua.

Ya, biarkan anak-anak datang dan berkumpul dengan sebaya mereka untuk mensyukuri hidup, dan belajar mencintai Pencipta serta ciptaan-Nya tanpa dikemas dalam basa-basi media elektronik. Biarkan anak-anak menikmati masanya untuk mencintai kehidupan ini dengan apa adanya. Biarkan anak-anak menikmati cinta-kasih Tuhan dan bangsa-negara dalam ukuran pemahaman kanak-kanak.

Coba dengarkan saja irama, nada, dan syair pada nyanyian-nyanyian mereka. Suara-suara dalam diri kanak-kanak yang bergirang dan bersyukur atas kelahiran dan kehidupannya.

Anak-anak itu datang dan berkumpul bukanlah untuk demo berjilid-jilid, menuntut keadilan, atau mengampanyekan "#Ganti Kepala Sekolah Minggu" atau "Turunkan harga alat tulis, permen, dan susu". Tidak akan pernah ada koor, "Bunuh! Bunuh! Bunuh si Anu!" Tidak akan pernah pula ada "Bencilah bangsamu sekarang juga".

Anak-anak itu datang dan berkumpul untuk belajar mengasihi setiap perbedaan, mulai dari bentuk rambut, warna kulit, lebar mata, dan nada suara. Anak-anak itu belajar mengasihi sesama manusia tanpa terkecuali karena sesungguhnya Bapa di Surga mengasihi semua ciptaan-Nya.

Anak-anak itu tidak akan pernah dibiarkan keluar dari fokus keriangan dalam kasih-sayang Tuhan. Anak-anak itu selalu senang bila berada dalam dunia mereka sendiri. 

Beberapa orang dewasa yang bersama mereka hanyalah membantu (mendampingi) supaya anak-anak bisa leluasa mengungkapkan diri secara apa adanya. Dan, hanya orang dewasa yang berjiwa polos jugalah yang selalu mampu bersama anak-anak itu. Sebagiannya lagi pernah menjadi murid Sekolah Minggu atau Katekisasi juga.

Tetapi segerombolan orang dewasa dari luar pulau malah hendak "merusak" dengan cara politis berupa RUU  Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.  Gerombolan itu sejak kanak-kanak sampai dewasa hanya hidup dalam kubangan racun curiga, cemas, dan galau. Konyol sekali.

Aturan yang bersumber dari ketidakteraturan hidup orang-orang dewasa itu sendiri. Ketidakteraturan dalam merenungi dan menyikapi kehidupan mereka sendiri karena egoitas dan arogansi telah menjelma sosok Saul bahkan Herodes. Konyol dua kali.

Mungkin gerombolan itu mencurigai Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan sebuah kegiatan pendidikan yang berpotensi "mengganggu" tatanan sosial-politik dunia. Konyol tiga kali.

Kekonyolan pun tanpa malu dipertontonkan ke khalayak ramai. Mereka tidak malu. Mereka seolah-olah sedang petentang-petenteng memakai kolor dan singlet robek sana-sini lalu muncul di tepi pantai sambil meneriakkan rancangan dari ketidaktahuan mereka untuk kalangan lain.

Ya, tentu tidak malu karena sejatinya mereka konyol, bahkan betapa sangat konyol sekali. Saya hanya mampu menggeleng-geleng sambil membayangkan suasana riang-gembira di Sekolah Minggu dan Katekisasi.

Saya pikir, seandainya tidak mampu memberi susu, jangan racun yang diberikan oleh orang dewasa untuk anak-anak. Dan, orang dewasa yang buta total, janganlah pula menggunakan kekuasaan seakan hidup ini senantiasa hanya berada di rimba yang buas beserta aneka pertarungan seakan hidup hanya berkutat di arena sabung nyawa.

Sekali lagi, biarkan anak-anak menikmati dunia mereka tanpa cemas, meski berada di tepi rimba yang buas nan sedang saling memangsa. Biarkan Tuhan membentuk kekuatan cinta dalam diri anak-anak itu pada sesama, bangsa-negara, dan alam semesta hingga kelak dewasa mereka mampu membagi kasih-sayang yang telah diajarkan semasa menjadi murid Sekolah Minggu atau Katekisasi.

Bukankah untuk Indonesia, kasih Tuhan tidaklah sebanding dengan "kasih" para politisi yang sarat "kepentingan" dan tidak pernah puas "melibas" sesamanya?

Tentu saja sangat tidak patut memangkas hingga mengebiri jumlah mereka. Toh, tidak selamanya mereka berstatus sebagai murid Sekolah Minggu atau peserta Katekisasi.  Mereka akan beranjak dewasa, dan lebih mendalami kehidupan berbangsa-bernegara dalam kasih-sayang tiada batasan SARA. Mereka-lah yang akan mewarisi hidup bersama secara harmonis dalam keragaman Indonesia. 

Pada akhirnya, apa boleh buat. Bahkan anak-anak pun harus lebih tabah ketika menghadapi realitas yang tidak terlepas dari aneka kekonyolan ini. Saya tetap yakin, semua akan aduhai pada waktunya.

*******

Kupang, 28 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun