Tentang Sekolah Minggu dan Katekisasi yang akan "dipasung" oleh negara melalui Pasal 69 Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, saya menggeleng-geleng. Heran, dan merasa konyol sendiri.
Entah apa yang sejatinya menyelinap dalam benak sebagian wakil rakyat di Komisi VIII DPR RI yang membidangi keagamaan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada waktu mengusulkan  RUU itu.
Kabarnya, dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, pengaturan sekolah minggu itu tampak pada upaya pengusulan agar pendidikan non-formal agama-agama diatur dalam UU. Setidaknya ada 3 ayat di Pasal 69 yang menyebutkannya.
Ayat (1), katanya, Sekolah Minggu dan Katekisasi termasuk jalur pendidikan non-formal agama Kristen. Ayat (3), katanya lagi, jumlah peserta didik pendidikan non-formal agama Kristen itu paling sedikit 15 orang. Ayat (4), katanya, penyelenggaraan sekolah minggu harus mendapat izin dari pemerintah Kabupaten/Kota.
Tak pelak, usulan dalam RUU itu disambut petisi "Negara Tidak Perlu Mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi" di Change.Org, yang ditujukan untuk Ketua DPR, Komisi VIII DPR, dan Presiden Joko Widodo. Ada puluhan ribu penanda tangan petisi.
Saya menggeleng-geleng saja. Orang-orang yang sama sekali tidak pernah mengamati, apalagi aktif-andil justru berupaya mewujudkan undang-undang yang terkait dengan Sekolah Minggu dan Katekisasi. Ya, seumpama gerombolan orang dewasa di sebuah pulau nun alangkah jauh lalu hendak berkunjung ke pulau lain sambil membawa aturan bermain untuk anak-anak di pulau lain itu.
Padahal di pulau lain itu anak-anak berkumpul karena para orang tua sedang khusyuk beribadah seusai enam hari bergumul dengan suka-duka menghidupi kehidupan. Anak-anak dilayani oleh beberapa orang dewasa untuk menikmati kebersamaan dengan sebaya. Sambil tetap bermain dalam kegirangan kanak-kanak, mereka belajar menikmati kebaikan Tuhan atas sekian waktu hidup dalam dinamika sosial terkecil dalam kelompoknya.
Anak-anak yang lugu-polos. Mereka bergantian mengungkapkan perasaan mengenai hidup mereka sendiri dengan kesaksian, nyanyian, dan lain-lain. Tidak ada kepentingan orang dewasa yang patut melolosi kepolosan anak-anak dengan kecurigaan dan kegalauan para orang tua.
Ya, biarkan anak-anak datang dan berkumpul dengan sebaya mereka untuk mensyukuri hidup, dan belajar mencintai Pencipta serta ciptaan-Nya tanpa dikemas dalam basa-basi media elektronik. Biarkan anak-anak menikmati masanya untuk mencintai kehidupan ini dengan apa adanya. Biarkan anak-anak menikmati cinta-kasih Tuhan dan bangsa-negara dalam ukuran pemahaman kanak-kanak.
Coba dengarkan saja irama, nada, dan syair pada nyanyian-nyanyian mereka. Suara-suara dalam diri kanak-kanak yang bergirang dan bersyukur atas kelahiran dan kehidupannya.
Anak-anak itu datang dan berkumpul bukanlah untuk demo berjilid-jilid, menuntut keadilan, atau mengampanyekan "#Ganti Kepala Sekolah Minggu" atau "Turunkan harga alat tulis, permen, dan susu". Tidak akan pernah ada koor, "Bunuh! Bunuh! Bunuh si Anu!" Tidak akan pernah pula ada "Bencilah bangsamu sekarang juga".