Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Biarkan Anak-anak Datang dan Berkumpul

28 Oktober 2018   19:34 Diperbarui: 31 Oktober 2018   03:46 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak itu datang dan berkumpul untuk belajar mengasihi setiap perbedaan, mulai dari bentuk rambut, warna kulit, lebar mata, dan nada suara. Anak-anak itu belajar mengasihi sesama manusia tanpa terkecuali karena sesungguhnya Bapa di Surga mengasihi semua ciptaan-Nya.

Anak-anak itu tidak akan pernah dibiarkan keluar dari fokus keriangan dalam kasih-sayang Tuhan. Anak-anak itu selalu senang bila berada dalam dunia mereka sendiri. 

Beberapa orang dewasa yang bersama mereka hanyalah membantu (mendampingi) supaya anak-anak bisa leluasa mengungkapkan diri secara apa adanya. Dan, hanya orang dewasa yang berjiwa polos jugalah yang selalu mampu bersama anak-anak itu. Sebagiannya lagi pernah menjadi murid Sekolah Minggu atau Katekisasi juga.

Tetapi segerombolan orang dewasa dari luar pulau malah hendak "merusak" dengan cara politis berupa RUU  Pesantren dan Pendidikan Keagamaan.  Gerombolan itu sejak kanak-kanak sampai dewasa hanya hidup dalam kubangan racun curiga, cemas, dan galau. Konyol sekali.

Aturan yang bersumber dari ketidakteraturan hidup orang-orang dewasa itu sendiri. Ketidakteraturan dalam merenungi dan menyikapi kehidupan mereka sendiri karena egoitas dan arogansi telah menjelma sosok Saul bahkan Herodes. Konyol dua kali.

Mungkin gerombolan itu mencurigai Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan sebuah kegiatan pendidikan yang berpotensi "mengganggu" tatanan sosial-politik dunia. Konyol tiga kali.

Kekonyolan pun tanpa malu dipertontonkan ke khalayak ramai. Mereka tidak malu. Mereka seolah-olah sedang petentang-petenteng memakai kolor dan singlet robek sana-sini lalu muncul di tepi pantai sambil meneriakkan rancangan dari ketidaktahuan mereka untuk kalangan lain.

Ya, tentu tidak malu karena sejatinya mereka konyol, bahkan betapa sangat konyol sekali. Saya hanya mampu menggeleng-geleng sambil membayangkan suasana riang-gembira di Sekolah Minggu dan Katekisasi.

Saya pikir, seandainya tidak mampu memberi susu, jangan racun yang diberikan oleh orang dewasa untuk anak-anak. Dan, orang dewasa yang buta total, janganlah pula menggunakan kekuasaan seakan hidup ini senantiasa hanya berada di rimba yang buas beserta aneka pertarungan seakan hidup hanya berkutat di arena sabung nyawa.

Sekali lagi, biarkan anak-anak menikmati dunia mereka tanpa cemas, meski berada di tepi rimba yang buas nan sedang saling memangsa. Biarkan Tuhan membentuk kekuatan cinta dalam diri anak-anak itu pada sesama, bangsa-negara, dan alam semesta hingga kelak dewasa mereka mampu membagi kasih-sayang yang telah diajarkan semasa menjadi murid Sekolah Minggu atau Katekisasi.

Bukankah untuk Indonesia, kasih Tuhan tidaklah sebanding dengan "kasih" para politisi yang sarat "kepentingan" dan tidak pernah puas "melibas" sesamanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun