Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Surga Siap Saji

17 Oktober 2018   23:38 Diperbarui: 18 Oktober 2018   15:19 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin hanya terjadi di Indonesia. Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) muncul "surga-neraka". Dan, hanya orang Indonesia yang bisa dengan mudah-murah masuk "surga-neraka" melalui pencoblosan terhadap nomor atau bagian gambar pasangan kontestan di tempat pemungutan suara.

Pada Jumat, 12/10, Novel Bamukmin bicara soal "masuk surga", dalam acara deklarasi "Perempuan Prabowo" di Sekretariat Nasional Prabowo-Sandi, Jl HOS Cokroaminoto 93, Jakarta Pusat. Juru bicara Persaudaraan Alumni (PA) 212 berkata, "Bu, mau masuk surga? Pinta sama Allah, pinta sama Rasulullah, pinta sama Prabowo, pinta sama Sandiaga Uno. Betul? Takbir. Insyaallah masuk surga."

Sebelumnya juga, Minggu, 30/9, dengan didampingi oleh ketua FPI Aceh Tgk. Muslim At-Thahiri dan sejumlah peserta lainnya dalam acara deklarasi relawan di Aceh Besar seorang pria berteriak, "Ganti Presiden kali ini di Indonesia wajib hukumnya bukan sunat, karena itu kebutuhan demi agama dan bagian dari jihad fisabilillah, jihad bukan hanya memegang pedang, melalui politik jihad merupakan nomor satu, bagi orang yang yang mau dukung Prabowo dinampakkan tanda-tanda oleh Allah adalah mereka yang diberi petunjuk, apabila tidak memilih Prabowo adalah individu yang sudah buta hatinya, buta matanya, tuli telinganya, sudah tidak bisa lagi menjadi manusia, isi neraka tulen."  

Berselang sekitar satu bulan sebelumnya Novel, Senin, 10/9, melalui akun Istagram @farhatabbastv226, Farhat Abbas menulis, "Yang Pilih Pak Jokowi Masuk Surga! Yang Gak Pilih Pak Jokowi dan Yang Menghina, Fitnah, dan Nyinyirin Pak Jokowi! Bakal Masuk Neraka."

Tetapi pada Rabu (12/9), mantan suami Nia Daniati itu buru-buru menulis, "Saya minta maaf dan atas pantun yang membuat sebagian orang gagal paham."

Janji "masuk surga" atau "politisasi surga-neraka" dalam sebuah kampanye bukanlah hal yang baru untuk Pilpres 2019. Pada kampanye Pilpres 2014, gaungnya dari Lapangan Enggal, Bandar Lampung pada acara kampanye nasional pilpres pasangan Jokowi--JK, Selasa, 24/6/2014. Penyuaranya adalah Ketua DPD PDIP Provinsi Lampung Sjachroedin Zainal Pagaralam.

"Yang nanti mau masuk surga nanti tanggal 9 Juli jangan lupa pilih Jokowi-JK ya, kalau tidak milih nanti masuk neraka," ujar Sjachroedi ZP di hadapan massa pendukung Jokowi-JK.

Meski "politisasi surga-neraka" atau "janji surga" sudah dimulai sejak 2014, toh, sekian tahun terakhir sama sekali tidak ada larangan resmi "bersertifikat mengikat" dari lembaga-lembaga agama. Farhat dan Novel adalah bukti-pelaku yang bisa leluasa mengumbar "janji surga" dengan cara mudah-murah, bahkan meriah pula, yaitu hanya dengan mencoblos salah satu pasangan kontestan dalam bilik suara.

Istilah yang kemudian muncul adalah "politisasi agama". Kalau tidak keliru, pasca-Reformasi 1998 "politisasi agama" muncul dalam kampanye Pilpres 2014 yang bertujuan untuk "menjatuhkan" pasangan kontestan lainnya. Hal ini ditandai oleh tabloid Obor Rakyat ke jantung pertahanan iman.

Dilanjutkan pasca-Pilpres 2014. Jumat, 18/7, di Jakarta Convention Center ada ibadah ucapan syukur atas kemenangan pasangan nomor 1 (Prabowo-Hatta), padahal kalah. "Ini dalam dimensi spiritual. Itu yang dibilang iman. Itu doa profetik, artinya kita mengimani dalam roh bahwa keduanya yang menang," kata Eliezer H. Hardjo yang menjadi penasihat acara.

Masih diteruskan dalam acara halalbihalal Prabowo-Hatta di Rumah Polonia, Jakarta, Minggu, 3/8. Politisi Partai Golkar Ali Mochtar Ngabalin berorasi, "Kita mendesak Allah SWT berpihak kepada kebenaran, berpihak kepada Prabowo-Hatta. Setuju?"

Dalam acara halalbihalal itu pun Ketua Umum DPN Srikandi Partai Gerindra Nurcahaya Tandang berorasi, "Kita tidak hanya mendukung Bapak Prabowo, tetapi hanya visi besar Pak Prabowo sebagai titisan Allah SWT."

Tetapi, mungkin, hanya ada di Indonesia, perjalanan menuju "surga-neraka" tidaklah rumit dan berbelit-belit. Tidak pula perlu menunggu 5 tahun atau satu kali dalam lima tahun.

Jauh lebih ekstrem daripada perhelatan lima tahunan itu. Cukup dengan membuka internet, "surga" tersaji seketika.

Apa lagi kalau bukan tanda "jempol" (like) pada sebuah tayangan rohani atau ratapan pilu suatu kejadian di media sosial. Bila memberi "jempol", imbalannya "surga". Penjempolannya pun bisa dilakukan di bilik pribadi ataupun di bilik buang air besar.  

Perbedaan antara "jempol" dan "coblos" hanyalah pada ranah dan waktu. "Jempol" di ranah media sosial, dan bisa setiap detik-menit, meski tergantung pada kuota internet. Sementara "coblos" di ranah politik tetapi sekali dalam 5 tahun, dan sebagian juru bicara mengumbar "janji surga" di ruang publik tanpa perlu kuota internet.

Mungkin gejala (fenomena) "surga-neraka" dan sekitarnya termasuk "agamaisasi politik" hanya terjadi di Indonesia. Dengan umbaran janji "surga-neraka" yang sebenarnya murni dalam ranah agama, di luar mimbar agama pun muncul "surga-neraka" dijerumuskan oleh sebagian orang ke ranah politik, termasuk dikotomi "Partai Allah" dan "Partai Setan" versi Amien Rais (Jumat, 13/4/2018).

Mungkin juga sebagian orang Indonesia mengalami "mabuk agama" yang akut hingga ke bangku sekolah. Persoalan gempa Lombok, Palu, atau daerah lainnya pun dikaitkan dengan agama sekaligus kekeliruan pilihan politik, yang "diajarkan" oleh oknum pendidik yang sedang mengalami "mabuk berat", semisal kasus di sebuah SMA, Jakarta.

Sayangnya, hajatan Pemilu (Pileg dan Pilpres) hanya berlaku sekali dalam lima tahun. Coba kalau setiap tahun, mungkin banyak orang Indonesia (yang mabuk agama dan doyan kudapan politik) masuk surga secara reguler.

Persoalannya, sistem penomoran untuk tiap pasangan kontestan, khususnya "pentolan". Pada 2014, Prabowo bernomor 1 dan Jokowi bernomor 2. Pada 2019 nanti Prabowo bernomor 2, dan Jokowi bernomor 1.

Di situ surga siap saji ataupun neraka siap terkam itu tergantung nomor kontestan. Tentu saja cukup berisiko ketika mencoblos dalam kondisi "mabuk berat".

Dengan adanya penomoran pun seolah-olah pintu "surga" memiliki nomor. Ya, mirip kamar-kamar hotel, gitu. 

Nah, kalau ada perubahan nomor kontestan semacam 2014 dan 2019, apalagi dalam kondisi "mabuk berat", bukannya "masuk surga", melainkan malah "masuk angin" deh. Ujung-ujungnya, banyak orang Indonesia berpunggung penuh kerokan setelah mencoblos. Masak, sih, nanti ada kerokan massal? 

*******

 Kupang, 17 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun