Dalam acara halalbihalal itu pun Ketua Umum DPN Srikandi Partai Gerindra Nurcahaya Tandang berorasi, "Kita tidak hanya mendukung Bapak Prabowo, tetapi hanya visi besar Pak Prabowo sebagai titisan Allah SWT."
Tetapi, mungkin, hanya ada di Indonesia, perjalanan menuju "surga-neraka" tidaklah rumit dan berbelit-belit. Tidak pula perlu menunggu 5 tahun atau satu kali dalam lima tahun.
Jauh lebih ekstrem daripada perhelatan lima tahunan itu. Cukup dengan membuka internet, "surga" tersaji seketika.
Apa lagi kalau bukan tanda "jempol" (like) pada sebuah tayangan rohani atau ratapan pilu suatu kejadian di media sosial. Bila memberi "jempol", imbalannya "surga". Penjempolannya pun bisa dilakukan di bilik pribadi ataupun di bilik buang air besar. Â
Perbedaan antara "jempol" dan "coblos" hanyalah pada ranah dan waktu. "Jempol" di ranah media sosial, dan bisa setiap detik-menit, meski tergantung pada kuota internet. Sementara "coblos" di ranah politik tetapi sekali dalam 5 tahun, dan sebagian juru bicara mengumbar "janji surga" di ruang publik tanpa perlu kuota internet.
Mungkin gejala (fenomena) "surga-neraka" dan sekitarnya termasuk "agamaisasi politik" hanya terjadi di Indonesia. Dengan umbaran janji "surga-neraka" yang sebenarnya murni dalam ranah agama, di luar mimbar agama pun muncul "surga-neraka" dijerumuskan oleh sebagian orang ke ranah politik, termasuk dikotomi "Partai Allah" dan "Partai Setan" versi Amien Rais (Jumat, 13/4/2018).
Mungkin juga sebagian orang Indonesia mengalami "mabuk agama" yang akut hingga ke bangku sekolah. Persoalan gempa Lombok, Palu, atau daerah lainnya pun dikaitkan dengan agama sekaligus kekeliruan pilihan politik, yang "diajarkan" oleh oknum pendidik yang sedang mengalami "mabuk berat", semisal kasus di sebuah SMA, Jakarta.
Sayangnya, hajatan Pemilu (Pileg dan Pilpres) hanya berlaku sekali dalam lima tahun. Coba kalau setiap tahun, mungkin banyak orang Indonesia (yang mabuk agama dan doyan kudapan politik) masuk surga secara reguler.
Persoalannya, sistem penomoran untuk tiap pasangan kontestan, khususnya "pentolan". Pada 2014, Prabowo bernomor 1 dan Jokowi bernomor 2. Pada 2019 nanti Prabowo bernomor 2, dan Jokowi bernomor 1.
Di situ surga siap saji ataupun neraka siap terkam itu tergantung nomor kontestan. Tentu saja cukup berisiko ketika mencoblos dalam kondisi "mabuk berat".
Dengan adanya penomoran pun seolah-olah pintu "surga" memiliki nomor. Ya, mirip kamar-kamar hotel, gitu.Â