Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Sebuah Ramalan, Deja Vu, atau Apalah yang Diabadikan dalam Buku Resmi

15 Oktober 2018   15:46 Diperbarui: 16 Oktober 2018   23:43 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Entah sebuah ramalan, penerawangan, deja vu, kebetulan, "suratan takdir", atau apalah, yang benar-benar terjadi (faktual) pada diri saya, dan diabadikan dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur pada 2008. Sungguh membuat saya terkejut, dan heran sekali hingga sekarang.

Ceritanya begini. Pada 2016 saya sedang mencari data untuk mengikuti Lomba Penulisan Esai yang diselenggarakan oleh kantor bahasa itu. Salah satunya melalui internet.

Lalu saya menemukan sebuah buku yang sudah dipindai dalam format PDF. Ikhtisar Sastra Indonesia di Kalimantan Timur diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur pada 2008.

Nah ini, pikir saya. Kalau internet masih diragukan kevalidan datanya oleh sebagian kalangan, tentunya berbeda dengan buku tersebut. Apalagi diterbitkan oleh kantor bahasa, yang jelas berada dalam pantauan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Saya pun membacanya agar saya mendapatkan bahan dari sumber yang layak dipercaya. Maklum sajalah, saya tidak berasal dari Kaltim. Tahun 2009 saya baru tinggal di provinsi terkaya di Indonesia itu karena menikah dengan orang Balikpapan. Berpartisipasi dalam lomba esai pun karena status kependudukan saya sebagai orang baru (baru 7 tahun, waktu itu) di Kaltim.

Maka buku resmi terbitan 2008 tersebut saya baca dengan saksama dari lembar-lembar awal, meski kenikmatan membaca agak terganggu oleh cahaya layar komputer jinjing. Saya pikir, dengan membaca buku tersebut saya bisa menemukan bahan yang layak saya jadikan bagian untuk esai saya.

Selain diterbitkan oleh kantor bahasa, kelayakan buku berisi 202 halaman tersebut juga karena pengerjaannya dilakukan oleh beberapa orang sejak penyusunan, penyuntingan awal, dan penyuntingan akhir., dan dalam waktu "beberapa tahun".

"Penyusunan buku Ikhtisar Sastra Indonesia di Kalimantan Timur telah diawali dengan penelitian pendahuluan sejak beberapa tahun terakhir," tulis Drs. Pardi, M. Hum., dalam Kata Pengantar Penyusun (hlm. xi).

Di samping itu, salah satu tujuan penyusunan dan penerbitannya ialah "menyiapkan data kondisi realistis terkait dengan keberadaan dan perjalanan sastra di Kalimantan Timur dalam dinamika zaman" (hlm.8, Bab I).

Kurang apa, coba? Saya sebutkan saja deh supaya tidak ada yang kurang.

Penyusun ada 5 orang, yaitu Yudianti Herawati, Pardi, Syaiful Arifin, Ahmad Murradlo, dan Raden Muhammad Sunny. Penyunting awal ada 4 orang, yaitu Aquari Mustikawati, Pardi, Misriani, dan Syahiddin. Penyunting akhir ada 3 orang, yaitu Winarti, Arismantoro, dan Rosidik.  

12 orang itu, saya pikir, sangat meyakinkan untuk mewujudkan sebuah naskah yang akan menjadi buku alias abadi. Lha wong beberapa buku saya sendiri (buku selfie), dengan sekitar 120-150 halaman saja saya kerjakan sendiri, dari penyusunan, penyuntingan, pembuatan sampul sampai siap naik cetak di percetakan.

Baiklah. Dari Bab I "Pengantar" (hlm. 1) pembacaan saya semakin mendalam ke bab berikutnya. Bab II, "Puisi Indonesia di Kalimantan Timur", dari hlm.13 s.d. 125. Tentu saja nama Korrie Layun Rampan sering muncul.

Tetapi, alangkah terkejutnya saya ketika menemukan nama saya, "Agustinus Wahyono" dalam Bab III "Cerita Pendek Indonesia di Kalimantan Timur"!

Nama saya disebutkan 2 kali di hlm. 132, dan 133. Oh, dua kali!

Hlm. 132 dan 133
Hlm. 132 dan 133
Paling aneh, saya termasuk golongan "pengarang Kalimantan Timur" seperti yang tertulis "Pengarang Kalimantan Timur yang menerbitkan karyanya di Post Kota, antara lain, adalah Agustinus Wahyono..." (hlm. 132), dan "beberapa nama pengarang muncul di Kaltim Post juga menerbitkan cerpennya di Samarinda Post, seperti Agustinus Wahyono" (hlm.133).

Apa? Saya "pengarang Kalimantan Timur" yang terabadikan dalam buku terbitan 2008 itu?

Betapa tidak aneh. Sebelum 2009, alias 2008, 2007 dan seterusnya saya belum tinggal di Kaltim. Bogor, Jakarta, Pangkalpinang, Koba (Bangka Tengah), dan lain-lain, merupakan tempat-tempat saya bekerja di sebuah kontraktor, dan konsultan bidang bangunan. Misalnya saja pelaksanaan pembangunan beberapa unit rumah tinggal "berkelas" di Sentul City Bogor, dan Pantai Indah Kapuk (PIK) Jakarta.

Apalagi, saya lahir sampai memasuki masa puber di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka (Babel). Kemudian saya pindah ke Yogyakarta. Saya juga pernah tinggal sementara di Bandung, dan sekitar 3 tahun tinggal Jakarta.

Pada 2008 saya belum tinggal di Kaltim, tepatnya Balikpapan. Kalaupun saya meluangkan waktu untuk berkarya sastra karena desakan beragam gagasan dalam pikiran akibat terhasut cinta sastra yang aduhai, pastilah karya-karya saya hanya mengalir melalui internet ke media-media yang berada di kawasan Indonesia bagian barat, yaitu Bangka, Jawa, Sumatera, dan Riau.

Artinya, saya tidak pernah mengirimkan karya, baik puisi, cerpen maupun esai/opini ke media-media di Kaltim ataupun Kalimantan, semisal Kalsel. Bagaimana bisa karya saya muncul di media-media massa Kaltim hingga akhirnya saya termasuk dalam "pengarang Kalimantan Timur"?

Pada awal berada di Balikpapan saya pun tidak pernah mengirimkan karya ke media massa wilayah Kaltim. Keseharian saya sedang suntuk berkutat dengan pembangunan Intalasi Gawat Darurat (IGD) sebuah rumah sakit swasta di Kota Minyak.

Kalaupun, lagi, saya mengirimkan karya, pasti ke media-media di luar Kaltim. Istri saya pun sempat merasa asing pada nama saya yang tercantum bersama cerpen "Kemarau Pun Singgah di Kampung Kami" (harian Sinar Harapan Jakarta, 7 Maret 2009) dalam kliping karya saya sendiri.

Baru pada 2011-2013 beberapa tulisan saya muncul di media lokal (Tribun Kaltim), baik esai/opini maupun semacam berita (press release) terkait kegiatan sastra dan jurnalisme mahasiswa di Balikpapan. Sama sekali bukan karya sastra seperti puisi, cerpen, dan sekitarnya.

Saya sempat mengira bahwa itu bukan nama saya. Bukankah kesamaan nama bisa saja terjadi?

Tetapi sampai 2018 atau 9 tahun menjadi warga Kaltim, sambil kadang-kadang menulis hal terkait sastra saya belum juga menemukan "Agustinus Wahyono" di media-media massa di Kaltim, daerah lain, ataupun nasional selain saya. Saya yakin, nama "Agustinus Wahyono" dalam buku tersebut memang nama saya

Dan, dengan dua kali tercantumnya nama saya sekaligus "pengarang Kalimantan Timur" dalam buku terbitan 2008 tersebut seolah suatu kebetulan, semacam ramalan, "penerawangan masa depan" (deja vu), atau justru "suratan hidup" alias "takdir". Sungguh mengejutkan sekaligus mengherankan saya.

 

*******

Kupang, 15 Oktober 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun