Pada suatu kesempatan saya menanyakan perihal Benazir Bhutto yang pernah menjadi perdana menteri (1988 dan 1993) serta pengaruh kebijakannya. Sebab, pada sesi pembahasan serta tanya-jawab, sama sekali tidak menyinggung nama mantan perdana menteri bergender perempuan itu.
Asni mengakui bahwa Benazir Bhutto dan pengaruh kebijakannya memang tidak dituliskannya. Ia hanya mengisahkan kehidupan sehari-hari di sekitarnya. Adat yang didominasi laki-laki. Bukan masalah politik, dan apa yang dituliskan oleh pelbagai media mengenai Benazir Bhutto serta "warisannya" pun berbeda dengan realitas yang disaksikan oleh Asni. Â
Masalah politik di Pakistan memang riskan untuk dibicarakan oleh para perempuan di sana, meski kebijakan mengenai tatanan hidup berbangsa-bernegara sangat dipengaruhi oleh politik serta Benazir Bhutto akhirnya menjadi "tumbal" politik patriarkhi (terbunuh pada 27 Desember 2007). Politik pun sangat dipengaruhi oleh adat-budaya patriarkhi hingga salah satu bab dalam novelnya diberi judul "Negeri Para Lelaki".
Sudah pasti, iklim politik di Indonesia lebih kondusif alias tanpa perlu direcoki dengan rentetan bom bunuh diri. Tidak juga ada peraturan ketat-keras seputar mobilitas perempuan di sebagian besar wilayah Indonesia.
Malam pembahasan novel yang diselingi dengan pentas baca puisi oleh Ardy Milik dan Anggita itu saya penasaran pada isi novelnya. Seperti apakah kisah-kisah Asni hingga akhirnya mendorongnya untuk dijadikan sebuah novel yang ditulisnya selama 1 bulan, dan sebagian kecil dibacakan oleh Abdi Keraf secara atraktif. Â
*******
 Kupang, 13 Oktober 2018 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H