Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secarik Catatan Cacat dari Obrolan tentang Novel "Aleena"

13 Oktober 2018   02:43 Diperbarui: 16 Oktober 2018   20:42 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu kesempatan saya menanyakan perihal Benazir Bhutto yang pernah menjadi perdana menteri (1988 dan 1993) serta pengaruh kebijakannya. Sebab, pada sesi pembahasan serta tanya-jawab, sama sekali tidak menyinggung nama mantan perdana menteri bergender perempuan itu.

Asni mengakui bahwa Benazir Bhutto dan pengaruh kebijakannya memang tidak dituliskannya. Ia hanya mengisahkan kehidupan sehari-hari di sekitarnya. Adat yang didominasi laki-laki. Bukan masalah politik, dan apa yang dituliskan oleh pelbagai media mengenai Benazir Bhutto serta "warisannya" pun berbeda dengan realitas yang disaksikan oleh Asni.  

Masalah politik di Pakistan memang riskan untuk dibicarakan oleh para perempuan di sana, meski kebijakan mengenai tatanan hidup berbangsa-bernegara sangat dipengaruhi oleh politik serta Benazir Bhutto akhirnya menjadi "tumbal" politik patriarkhi (terbunuh pada 27 Desember 2007). Politik pun sangat dipengaruhi oleh adat-budaya patriarkhi hingga salah satu bab dalam novelnya diberi judul "Negeri Para Lelaki".

Sudah pasti, iklim politik di Indonesia lebih kondusif alias tanpa perlu direcoki dengan rentetan bom bunuh diri. Tidak juga ada peraturan ketat-keras seputar mobilitas perempuan di sebagian besar wilayah Indonesia.

Malam pembahasan novel yang diselingi dengan pentas baca puisi oleh Ardy Milik dan Anggita itu saya penasaran pada isi novelnya. Seperti apakah kisah-kisah Asni hingga akhirnya mendorongnya untuk dijadikan sebuah novel yang ditulisnya selama 1 bulan, dan sebagian kecil dibacakan oleh Abdi Keraf secara atraktif.  

Ardy Milik membacakan puisi
Ardy Milik membacakan puisi
Anggita membacakan puisi
Anggita membacakan puisi
Abdi Keraf membacakan secuplik isi novel
Abdi Keraf membacakan secuplik isi novel
Ya, bolehlah saya sekali-sekali menikmati novel yang beranjak dari kisah nyata tersebut. Nyata bahwa realitas di luar sana lebih mencekam daripada persoalan menarik garis-garis untuk perancangan bangunan.

*******

 Kupang, 13 Oktober 2018  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun