Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kilauan Saham Freeport dan Saham Lainnya yang Menyilaukan

28 September 2018   23:57 Diperbarui: 29 September 2018   01:57 1583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: Antara Foto/MUHAMMAD ADIMAJA

Saya berdebar-debar ketika membaca kabar, akhir 2018 Indonesia memiliki mayoritas (51,23%) saham PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA) di Kementerian ESDM, Jakarta Pusat, Kamis, 27 September 2018. 51,23 % itu terbagi lagi kepemilikannya, yaitu Inalum (41,23%) dan Pemda Papua (10%).

Penandatanganan ini merupakan lanjutan dari penandatanganan pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement/HoA) antara pemerintah dengan perusahaan berbasis di Amerika Serikat itu pada 12 Juli 2018. Dan kabar-kabar sekitarnya.

Meski PTFI didirikan pada 7 April 1967 dengan dukungan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967), perintisannya sudah terkait dengan politik, yaitu penggulingan terhadap Presiden Soekarno. Hal ini dikatakan oleh Greg Poulgrain pada saat bedah buku karyanya, Bayang-bayang Intervensi, Perang Siasat John F Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno, di kantor pusat LIPI, Selasa, 5 September 2017.

"CIA di bawah Dulles selalu membuat peristiwa-peristiwa politik yang membuat Sukarno tak bisa mengkonsolidasikan kekuasaannya dan mengurus ekonomi dengan baik. Dulles menggunakan berbagai upaya untuk menggulingkan Sukarno," kata Greg.

Keterkaitan penambangan emas dan politik pun ditulis Denise Leith dalam Politics of Power: Freeport in Suharto's Indonesia (2003). "Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim baru di Jakarta dan menjadi aktor ekonomi dan politik utama di Indonesia. Pada 1970-an, saat Freeport membangun infrastruktur pertambangannya, rezim Soeharto mengemis pembagian saham. Pejabat-pejabat Indonesia dikabarkan bolak-balik Jakarta-New York demi urusan itu," tulis Denise.

Masih ada lagi kabar usang yang membuat saya berdebar-debar jika obrolan mengenai saham PTFI berpendar-pendar di layar komputer jinjing saya. Kilauan emas bernama saham, apalagi saham PTFI, senantiasa membuat silau segelintir pihak yang berada dalam lingkaran birokrasi, termasuk aneka perizinan. Tidak sekadar pendar perburuan, perebutan, dan dipungkasi dengan penandatanganan kesepakatan-kesepakatan, yang sempat menyemburat sesaat dalam kasus "Papa Minta Saham" pada 16 November 2015.

Debaran saya pun terkait dengan perkataan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah (FH) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat, 13 Juli 2018. "Penjelasan ihwal siapa pemegang saham dan asal uang untuk divestasi saham PTFI harus dijelaskan ke publik. Sebabnya, ketiadaan informasi soal pemegang saham dapat berujung pada munculnya masalah di masa depan. Masalahnya itu karena adanya deal yang tidak transparan dari pemerintah yang menggunakan pihak ketiga dan keempat, yang faktanya itu bukan divestasi, hanya pengalihan saham di antara perusahaan dan pembagian-pembagian yang menyebabkan tidak utuh yang 51 persen itu," katanya.

Perkataan, tepatnya "gugatan", dari FH, "Siapa pemegang saham dan asal uang untuk divestasi saham PTFI harus dijelaskan ke publik" merupakan hal yang selalu menjadi "rahasia", padahal membawa nama "Indonesia". Dan, menurut saya, bukan hanya "siapa" tetapi justru "siapa-siapa" yang bermakna jamak.

Berikutnya, masih dari perkataan FH, "Sebabnya, ketiadaan informasi soal pemegang saham dapat berujung pada munculnya masalah di masa depan." Permasalahannya bukan hanya "di masa depan", melainkan justru di masa lalu dan masa kini, apalagi terkait dengan tahun politik yang juga terkait dengan saham "siapa-siapa" sampai bersemburat "Papa Minta Saham" itu.

Dan, dari "faktanya itu bukan divestasi, hanya pengalihan saham di antara perusahaan dan pembagian-pembagian yang menyebabkan tidak utuh yang 51 persen itu", tentu saja, FH sangat memahami perihal pembagian saham kepada siapa-siapa karena sebelumnya saham Inalum hanya 9,36%, dan 90,36% milik PTFI. Saya tidak perlu memercayai sepenuhnya, 90,36% benar-benar milik PTFI seutuhnya alias tanpa adanya "siapa-siapa" di dalamnya.

Debaran saya tidak terlepas dari tahun politik karena masa kampanye Pemilu 2019 dimulai pada 2018, tepatnya 23 September 2018. Saya tidak mungkin melepaskan latar Reformasi 1998 dengan politik terkini yang disebut-sebut sebagai "politik dagang sapi" atau "politik transaksional". Seseorang, yang konon berkoar-koar "gulingkan" Soeharto pada pentas Reformasi '98, ternyata waktu itu lantaran tidak bisa mendapat "sesuatu". Begitu ada kesempatan, "rakus" juga. Beberapa tahun terakhir kembali tidak mendapat "sesuatu", ia berkoar-koar lagi.

Sepakat atau tidak, bagi saya, politik mutakhir merupakan upaya krusial untuk meraih tongkat kekuasaan atau penentu segala urusan kebijakan. Kekuasaan dan kebijakan selalu memantulkan sinar agresivitas sebagian kalangan dalam perebutan kekayaan alam Indonesia, dan sebagian kalangan lainnya dalam pengamanan atau pelanggengan atas penguasaan kekayaan alam yang sudah diraih di era rezim-rezim sebelumnya.

"Kekayaan alam Indonesia" merupakan pemikat paling aduhai bagi segelintir orang Indonesia. Ketika bentuknya menjadi saham, dan perusahaan-perusahaan pengelolanya bisa beroperasi lebih puluhan tahun, tentu saja sahamnya itu akan menjadi bahan perebutan bagi sebagian kalangan yang belum mendapatkannya.

Sementara bagi sebagian kalangan yang telah mendapatkannya, dan "kenyang" selama perusahaan-perusahaan itu masih beroperasi, tentunya juga, akan berupaya keras untuk mempertahankan (melanggengkan) atau mengamankan saham mereka. Hajatan nasional dalam pergantian penguasa (rezim) sering menjadi pertaruhan dan pertarungan paling sengit bagi mereka.

Para agresor yang berjubah elite politik dan birokrat memang tidak pernah puas dengan "upah bulanan" sekaligus segala tunjangan. Kekayaan alam berupa emas, selain minyak bumi dan gas (migas), yang menjelma "saham" memang merupakan primadona paling utama. Lainnya adalah saham perusahaan besar bahkan berbendera asing di luar emas dan migas.

Saya tidak heran ketika investasi pun merupakan kilauan yang didamba kalangan itu seakan lampu yang diserbu sekelompok laron dalam malam yang paling kelam pada saat orang-orang (rakyat) terlelap seusai lelah bekerja keras. Misalnya saja di bidang kehutanan atau perkebunan, yang akhirnya sering menjadi kesedihan orang-orang (rakyat) ketika terbangun dan membuka pintu rumah.

Kesedihan ditambah dengan nuansa sinar oranye dari semarak rompi bercoretan angka APBN-APBD, dan para pemakainya sedang berkelakar dalam "hotel kelas melati" bertahun-tahun. Panorama-panorama itu seakan menusuk-nusuk retina orang-orang (rakyat) yang berpotensi mengakibatkan katarak dini.

Sebagian orang (rakyat) memang telah mengalami katarak dini. Jejak-jejak perebutan, bahkan pergulatan sudah tidak terlihat. Sementara para agresor masih berupaya menutupi jejak-jejak itu, atau mengalihkan pendengaran sebagian orang (rakyat) dari erang pertarungan di seputar reruntuhan bangunan mangkrak, kertas-kertas lusuh penuh janji, kerak-kerak darah, dan lain-lain.

Tidak jarang saya merasa kasihan kepada mayoritas rakyat Indonesia yang mengalami "katarak dini" sehingga tidak lagi jeli terhadap agresivitas elite politik. Dongeng "Satria Piningit" dan dendang "Rakyat Adil-Makmur-Sejahtera" telah senantiasa berdengung-dengung sehingga kepekaan pendengaran tidak lagi mampu menangkap derap langkah para pemburu kekayaan alam Indonesia yang dibungkus dalam hiruk-pikuk pesta demokrasi.

Apa boleh buat. Semburat saham PTFI yang sedang memancar dan akan terwujud menjadi kenyataan pada akhir 2018, mau-tidak mau, mengundang laron bahkan serangga malam untuk datang. Saya menduga, sebagian saham milik "siapa-siapa" akan tereliminasi, dan kebisingan serta kegaduhan tidak terhindarkan. Dari situlah debaran saya pun semakin menguat, bahkan cenderung mengganggu keseharian saya yang telanjur terjerumus dalam pusaran arus informasi.

*******

 Kupang, 29 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun