Sepakat atau tidak, bagi saya, politik mutakhir merupakan upaya krusial untuk meraih tongkat kekuasaan atau penentu segala urusan kebijakan. Kekuasaan dan kebijakan selalu memantulkan sinar agresivitas sebagian kalangan dalam perebutan kekayaan alam Indonesia, dan sebagian kalangan lainnya dalam pengamanan atau pelanggengan atas penguasaan kekayaan alam yang sudah diraih di era rezim-rezim sebelumnya.
"Kekayaan alam Indonesia" merupakan pemikat paling aduhai bagi segelintir orang Indonesia. Ketika bentuknya menjadi saham, dan perusahaan-perusahaan pengelolanya bisa beroperasi lebih puluhan tahun, tentu saja sahamnya itu akan menjadi bahan perebutan bagi sebagian kalangan yang belum mendapatkannya.
Sementara bagi sebagian kalangan yang telah mendapatkannya, dan "kenyang" selama perusahaan-perusahaan itu masih beroperasi, tentunya juga, akan berupaya keras untuk mempertahankan (melanggengkan) atau mengamankan saham mereka. Hajatan nasional dalam pergantian penguasa (rezim) sering menjadi pertaruhan dan pertarungan paling sengit bagi mereka.
Para agresor yang berjubah elite politik dan birokrat memang tidak pernah puas dengan "upah bulanan" sekaligus segala tunjangan. Kekayaan alam berupa emas, selain minyak bumi dan gas (migas), yang menjelma "saham" memang merupakan primadona paling utama. Lainnya adalah saham perusahaan besar bahkan berbendera asing di luar emas dan migas.
Saya tidak heran ketika investasi pun merupakan kilauan yang didamba kalangan itu seakan lampu yang diserbu sekelompok laron dalam malam yang paling kelam pada saat orang-orang (rakyat) terlelap seusai lelah bekerja keras. Misalnya saja di bidang kehutanan atau perkebunan, yang akhirnya sering menjadi kesedihan orang-orang (rakyat) ketika terbangun dan membuka pintu rumah.
Kesedihan ditambah dengan nuansa sinar oranye dari semarak rompi bercoretan angka APBN-APBD, dan para pemakainya sedang berkelakar dalam "hotel kelas melati" bertahun-tahun. Panorama-panorama itu seakan menusuk-nusuk retina orang-orang (rakyat) yang berpotensi mengakibatkan katarak dini.
Sebagian orang (rakyat) memang telah mengalami katarak dini. Jejak-jejak perebutan, bahkan pergulatan sudah tidak terlihat. Sementara para agresor masih berupaya menutupi jejak-jejak itu, atau mengalihkan pendengaran sebagian orang (rakyat) dari erang pertarungan di seputar reruntuhan bangunan mangkrak, kertas-kertas lusuh penuh janji, kerak-kerak darah, dan lain-lain.
Tidak jarang saya merasa kasihan kepada mayoritas rakyat Indonesia yang mengalami "katarak dini" sehingga tidak lagi jeli terhadap agresivitas elite politik. Dongeng "Satria Piningit" dan dendang "Rakyat Adil-Makmur-Sejahtera" telah senantiasa berdengung-dengung sehingga kepekaan pendengaran tidak lagi mampu menangkap derap langkah para pemburu kekayaan alam Indonesia yang dibungkus dalam hiruk-pikuk pesta demokrasi.
Apa boleh buat. Semburat saham PTFI yang sedang memancar dan akan terwujud menjadi kenyataan pada akhir 2018, mau-tidak mau, mengundang laron bahkan serangga malam untuk datang. Saya menduga, sebagian saham milik "siapa-siapa" akan tereliminasi, dan kebisingan serta kegaduhan tidak terhindarkan. Dari situlah debaran saya pun semakin menguat, bahkan cenderung mengganggu keseharian saya yang telanjur terjerumus dalam pusaran arus informasi.
*******
 Kupang, 29 September 2018