Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Lukisan Mirip Seseorang yang Kerempeng

26 September 2018   22:31 Diperbarui: 26 September 2018   22:43 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski bukan pendukung salah seorang kontestan dalam Pilpres 2018, bahkan 2014 dan pilpres-pilpres sebelumnya, saya senang sekali melihat sebuah lukisan yang terpampang di acara dukungan Yenny Wahid pada 26 September 2018. Kesenangan itu menjadi "sekali" karena panggung acara berlatar wajah Gus Dur yang sedang tertawa.

"Lukisan bergambar seorang mirip Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang memegang kuas cat menuliskan 'NKRI', namun belum lengkap huruf 'i'," tulis Akmal Fauzi--wartawan Media Indonesia. "huruf 'I' nya belum selesai yang artinya pemerintahan Jokowi harus melanjutkan kerjanya, kata Yenny."

Lukisan itu karya Butet Kartaredjasa, yang bernama lengkap Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa. Ia alumni Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) yang setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) yang kini menjadi SMK Negeri 3 Kasihan Bantul, dan alumni angkatan 1982 Fakultas Seni Rupa Sekolah Tinggi Seni Rupa (STSR) "ASRI" (Akademi Seni Rupa Indonesia) yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Paduan antara lukisan "mirip" dan lukisan latar panggung itu sangat pas. Wajah Gus Dur yang sedang tertawa dengan ukuran (dimensi) yang besar menampilkan suasana segar-girang-sukacita pada saat musim panas melanda seluruh permukaan NKRI.

Sementara lukisan "mirip" hanyalah tampak bagian belakang "seseorang" yang kerempeng. Sederhana-polos. Tanpa baju, dimana baju sering dikonotasikan pada warna politik. Celana kolor hitam berbahan elastis yang juga sederhana.

Artinya, ketika pakaian sering diidentikkan bahkan diklaim sebagai sebuah sikap politik, "seseorang" dalam lukisan itu sama sekali tanpa kecenderungan sikap semacam apalah. Netralitas pada sosok "seseorang" yang hanya ingin menuliskan "NKRI" tetapi "I" belum selesai pada latar abu-abu.

Ya, latarnya abu-abu alias paduan antara hitam dan putih. Bukan hitam atau putih yang sama-sama berarti netral dalam kasanah warna yang saya kenal. Mungkin, saya duga, abu-abu adalah makna politik--tidak ada hitam atau putih dalam politik. Mungkin begitu.

Mungkin, dan cuma dugaan saya. Dugaan saya sering meleset, dan tidak patut dipercaya. Tetapi abu-abu yang sekian persen hitam-putih itu masih mampu menampakkan tulisan "NKRI" yang "I"-nya belum selesai.

modifikasi dari media daring
modifikasi dari media daring
NKRI dengan "I" yang belum selesai. Apa itu "I" yang dimaksudkan oleh Butet? Indonesia-kah, seperti yang dikenal oleh orang Indonesia? Ataukah "I" yang berarti inisial yang mengujung pada "identitas"? Lho, apa urusan saya menanyakan hal itu?

Baiklah, saya teruskan dengan jenis huruf. Jenis hurufnya pun polos-tegas. Tidak meliuk. Tanpa dekorasi semisal ukiran. Sangat sederhana dengan garis yang apa adanya, dan segaris (selaras) dengan "seseorang" tanpa baju dan hanya bercelana kolor.

Masih dengan "NKRI", warnanya merah dengan bagian sedikit putih pada kuasnya. "Merah darah" untuk "NKRI". Darah adalah hidup atau nyawa, kata orang.

Lalu, tata huruf. "NKRI" disusun dengan arah menanjak, bukannya rata dengan tegak-lurus. Saya juga menangkap kesan, "seseorang" sedang menginginkan "NKRI" semakin meningkat (menanjak; mendaki) atau menuju pada suatu kondisi lebih baik. Bukan monoton bahkan "berhenti" dengan sebuah "kemapanan" yang masih menjadi "pertanyaan".

Lalu lagi, letak huruf. "NKRI" dengan "I" yang justru "melampui" batas bingkai dan bergabung dengan putih. Saya menduga, mungkin Butet menggambarkan "seseorang" sedang berusaha membuat "NKRI" melampui batas yang "digariskan" atau "dipahami" dalam pemikiran mayoritas orang Indonesia, bahkan "lebih tinggi" dari pemikiran (kepala) "seseorang" itu sendiri.

"Seseorang itu sendiri". Tidak ada temannya. Padahal, biasanya, sekian banyak orang selalu berpikir tentang "seseorang" dan "kawannya" alias "berdua" sebagaimana sebuah kontestasi konvensional. Saya tidak perlu menanyakan hal itu dengan "mengapa sendiri" karena bukan urusan dan hak saya.

"Seseorang" yang tangan kanannya sedang menulis, dan tangan kiri berada di belakang. Oh, tangan kiri yang di belakang itu seketika mengingatkan saya pada tokoh wayang bernama Semar. Saya tidak akan membahasnya karena saya bukanlah penggemar wayang. Biar Butet saja yang menerangkannya, bahkan, mungkin saja saya keliru bayangan.

Selanjutnya kuas bergagang hijau di tangan kanan. "Seseorang" memegang kuas bergagang hijau sedang menuliskan "NKRI" dengan "I" yang belum jadi. Mengapa hijau dipilih oleh Butet, padahal rata-rata kuas yang dijual di toko bahan bangunan adalah bergagang merah cerah? Apakah karena kuas itu sudah sering dipakai ataupun kuas lama yang sudah berlumut? Lho, apa juga urusan saya menanyakan hal itu?

Lantas, siapa sebenarnya "seseorang" yang saya enggan menyebutkan namanya? Lho, apa urusan saya menanyakan hal itu pada diri saya sendiri?

Saya tidak berani menyebutkan namanya karena hanya rambut bagian belakang. "Mirip Presiden..." seperti kata wartawan itu, dan saya perlu menyepakatinya, ya?

Saya tidak perlu menyepakati bahwa itu adalah bentuk kepala "seseorang" berambut lurus. Tidak terlihat air muka (ekspresi wajahnya); tersenyum, tertawa, plonga-plongo, kaget sendiri, atau apalah. Tidak usah susah-payah saya duga yang nanti malah menjadi bahan cekikikannya Butet. Yang jelas, Gus Dur tertawa.

Untuk kali ini, mungkin, Butet berhasil menggiring sebagian pelihat pada kesan (image) "seseorang", termasuk wartawan tadi. Meski "mirip" tetapi belum tentu "wajib" sebagai "siapa" seakan "seseorang" memiliki hak tunggal atas kepemilikan bentuk semacam itu.

Dan, untuk kali ini pula Butet berhasil menggiring saya berimajinasi kepada hal-hal di luar kepala sebagian pelihat. Saya sepakat pada Butet yang tidak menampilkan wajah dengan cukup punggung telanjang dan bercelana kolor hitam saja. Sebab, kalau wajahnya terlihat, meski sebagian dari samping, kesan yang muncul justru "tidak sopan" bahkan cenderung "mengolok" terhadap sosok "seseorang".   

Cukuplah Butet yang memang suka "mengolok" sejak monolognya tenar dengan meniru suara tokoh-tokoh pada akhir rezim ORBA. Saya tidak perlu ikut-ikutan kesukaan, apalagi saya tidak bisa bermonolog mirip Butet.

Saya pun tidak perlu repot dengan "seseorang" dan "sopan-tidak sopan" dalam tata pergaulan umum. Kalau mau nekat untuk repot, saya riskan jika berbalik menjadi "senjata makan tuan" alias mengena pada diri saya sendiri. Bisa lucu, nantinya. Bisa lebih lebar tawa Gus Dur.

Saya hanya perlu repot sedikit dengan mengungkapkan kesenangan saya ditambah "sekali" melalui tulisan ini gara-gara mata saya bisa melihat dua lukisan itu. Aduh, mata saya yang bukan dagadu!

*******

 Kupang, 26 September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun