Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Lukisan Mirip Seseorang yang Kerempeng

26 September 2018   22:31 Diperbarui: 26 September 2018   22:43 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lalu, tata huruf. "NKRI" disusun dengan arah menanjak, bukannya rata dengan tegak-lurus. Saya juga menangkap kesan, "seseorang" sedang menginginkan "NKRI" semakin meningkat (menanjak; mendaki) atau menuju pada suatu kondisi lebih baik. Bukan monoton bahkan "berhenti" dengan sebuah "kemapanan" yang masih menjadi "pertanyaan".

Lalu lagi, letak huruf. "NKRI" dengan "I" yang justru "melampui" batas bingkai dan bergabung dengan putih. Saya menduga, mungkin Butet menggambarkan "seseorang" sedang berusaha membuat "NKRI" melampui batas yang "digariskan" atau "dipahami" dalam pemikiran mayoritas orang Indonesia, bahkan "lebih tinggi" dari pemikiran (kepala) "seseorang" itu sendiri.

"Seseorang itu sendiri". Tidak ada temannya. Padahal, biasanya, sekian banyak orang selalu berpikir tentang "seseorang" dan "kawannya" alias "berdua" sebagaimana sebuah kontestasi konvensional. Saya tidak perlu menanyakan hal itu dengan "mengapa sendiri" karena bukan urusan dan hak saya.

"Seseorang" yang tangan kanannya sedang menulis, dan tangan kiri berada di belakang. Oh, tangan kiri yang di belakang itu seketika mengingatkan saya pada tokoh wayang bernama Semar. Saya tidak akan membahasnya karena saya bukanlah penggemar wayang. Biar Butet saja yang menerangkannya, bahkan, mungkin saja saya keliru bayangan.

Selanjutnya kuas bergagang hijau di tangan kanan. "Seseorang" memegang kuas bergagang hijau sedang menuliskan "NKRI" dengan "I" yang belum jadi. Mengapa hijau dipilih oleh Butet, padahal rata-rata kuas yang dijual di toko bahan bangunan adalah bergagang merah cerah? Apakah karena kuas itu sudah sering dipakai ataupun kuas lama yang sudah berlumut? Lho, apa juga urusan saya menanyakan hal itu?

Lantas, siapa sebenarnya "seseorang" yang saya enggan menyebutkan namanya? Lho, apa urusan saya menanyakan hal itu pada diri saya sendiri?

Saya tidak berani menyebutkan namanya karena hanya rambut bagian belakang. "Mirip Presiden..." seperti kata wartawan itu, dan saya perlu menyepakatinya, ya?

Saya tidak perlu menyepakati bahwa itu adalah bentuk kepala "seseorang" berambut lurus. Tidak terlihat air muka (ekspresi wajahnya); tersenyum, tertawa, plonga-plongo, kaget sendiri, atau apalah. Tidak usah susah-payah saya duga yang nanti malah menjadi bahan cekikikannya Butet. Yang jelas, Gus Dur tertawa.

Untuk kali ini, mungkin, Butet berhasil menggiring sebagian pelihat pada kesan (image) "seseorang", termasuk wartawan tadi. Meski "mirip" tetapi belum tentu "wajib" sebagai "siapa" seakan "seseorang" memiliki hak tunggal atas kepemilikan bentuk semacam itu.

Dan, untuk kali ini pula Butet berhasil menggiring saya berimajinasi kepada hal-hal di luar kepala sebagian pelihat. Saya sepakat pada Butet yang tidak menampilkan wajah dengan cukup punggung telanjang dan bercelana kolor hitam saja. Sebab, kalau wajahnya terlihat, meski sebagian dari samping, kesan yang muncul justru "tidak sopan" bahkan cenderung "mengolok" terhadap sosok "seseorang".   

Cukuplah Butet yang memang suka "mengolok" sejak monolognya tenar dengan meniru suara tokoh-tokoh pada akhir rezim ORBA. Saya tidak perlu ikut-ikutan kesukaan, apalagi saya tidak bisa bermonolog mirip Butet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun