Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membaca Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan

7 Mei 2018   11:09 Diperbarui: 7 Mei 2018   12:18 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sang presiden percobaan mengeluarkan kebijakan pertama yang sungguh menggemparkan. "Sejak hari ini, tidak ada yang boleh bersedih," begitu kebijakan atau peraturan resmi dikeluarkannya. Sejak hari itu tidak ada lagi rakyat yang bersedih. Seluruh rakyat dibagikan tanah dan rumah secara merata, yang kesemua properti itu boleh dikelola dengan 5/100 bagian saja untuk Negeri. Rakyat hanya disuruh bekerja dan bergembira. Biaya pendidikan dan kesehatan gratis.

 Tapi selalu saja ada yang tak suka. Kelompok yang tak suka pada kegembiraan yang ada ini adalah pemusik dan sastrawan. Dalam sebuah pertemuan rahasia mereka saling membisik dalam pertemuan rahasia, "Kenapa kita tidak boleh bersedih? Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya tertawa." 

Tetapi, tentu saja, tidak seorang pun dari kelompok tak suka ini berani karena kewajiban gembira sudah berpayung hukum "Tangkap siapa saja yang ketahuan bersedih". Tak pelak hukum tersebut justru berdampak bagi seorang penyair, yang kemudian membuat tempat persembunyian di gua. Tidak lupa ia mengajak pemusik dan sastrawan untuk meratap dan menangis serta berkarya melalui musik dan buku sastra berdasarkan kesedihan. Kelompok ini pun mendirikan sekte kesedihan.

Adalah seorang pemuda berusia 17 tahun di beranda belakang rumah pada suatu malam, membaca sebuah buku berisi sajak patah hati tentang seorang kekasih yang ditinggal mati oleh pasangannya. Buku itu 'dicuri'-nya dari bapaknya yang duda. Air mata pemuda itu pun bercucuran diiringi isak menyayat selubung kelam. Ndilalah, aksi kesedihan sendiriannya dipergoki oleh seorang penjaga malam.

Pemuda itu diinterogasi. Lalu bapaknya juga dihadirkan untuk diinterogasi. Bapaknya diam, dan malah menangis. "Pak Tua, tolong jangan menangis. Kami tak akan menghukummu. Segeralah menjawab. Sebelum wartawan tahu dan berita ini bocor dan seluruh rakyat tahu," kata seorang prajurit.

Benar. Keesokannya negeri digemparkan oleh pemberitaan, yang justru berasal dari koran negeri tetangga, "Dua orang lelaki ditangkap karena ketahuan membaca buku yang sedih." Tentu saja berita itu menjadi penting bagi para wartawan dalam negeri yang nyaris tak bekerja karena hanya memberitakan kebahagiaan, kemajuan negeri, serta berlucu-lucuan melalui tulisan dan gambar selama rezim presiden anti-kesedihan berkuasa.

Kegemparan itu dimanfaatkan oleh loyalis rezim anti-kegembiraan. Demonstrasi di mana-mana. Karya-karya bertema kesedihan merajalela. Bapak tua tadi pun dicokok, lalu dihukum gantung bersamaan dengan dikeluarkannya sebuah dekrit. Dampaknya sangat fatal: negeri mengalami situasi instabilitas yang serius, dan sekte-sekte kesedihan muncul di pusat-pusat keramaian meskipun beberapa orang mendapat ganjaran berupa penangkapan dan pemukulan.

Pada hari terakhir masa jabatannya sang presiden percobaan mengundurkan diri. "Demi kebahagiaan rakyat, saya tak mau ada yang bersedih. Saya akan terus memerangi kesedihan bersama negeri kita tercinta," pidato terakhirnya.

Dan akhir cerita itu dituliskan IB, "Esok hari Jumat penuh kesedihan akan tiba. Di sana kami akan datang dan berkumpul. Menangis memenuhi pusat kota. Wahai kau jiwa-jiwa yang murung, bersedihlah, menangislah bersama kami."   

Antara Satirisme dan Ironis-Sarkasme

Satire, kalau saya kaitkan dengan buku Aliran-Jenis Cerita Pendek-nya Korrie, jadilah satirisme (hal.125-128). Dan, menurut saya yang bukanlah pengamat apalagi ahli sastra ini, cerita SPdBPK beraliran Satirisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun