Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perlu Juga Belajar pada Thomas tentang Hoaks

18 April 2018   03:15 Diperbarui: 18 April 2018   04:07 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
freebibleimages.org

Tentang "hoaks", memang bukan hal baru. Saya nukil dari Kompas (28 Februari 2017). Adapun kata hoaks dalam KBBI dikategorikan sebagai ajektiva dan nomina. Sebagai ajektiva, kata hoaks berarti tidak benar; bohong. Dalam penulisannya sebagai frasa, hoaks ini menggunakan kata yang diterangkan terlebih dahulu, misalnya menjadi "berita hoaks". Namun, hoaks juga bisa berdiri sendiri sebagai nomina dengan arti "berita bohong".

Beberapa hari lalu, tepatnya Jumat, 13 April 2018, yang sangat benderang adalah pengakuan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzly alias Romy setelah membuka kegiatan Munas Alim Ulama di Semarang. Romy menceritakan mengenai asal mula Presiden Jokowi dicap sebagai prokomunis, pro-RRC, dan anti-Islam, serta keturunan Tiongkok, yang kemudian muncul di majalah Obor Rakyat pada Pilpres 2014.

Sepengetahuan saya yang sangat minimalis, hoaks tidak melulu berkutat di seputaran realitas sosial-politik, tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan, makanan-minuman, dan lain-lain. Satu saja misalnya, seekor anjing yang menyelamatkan tuannya dari keroyokan ular berbisa, yang ternyata hoaks.

Dengan ciri khasnya yang "bohong" alias "dusta", bahkan "fitnah" sekaligus "pembunuhan karakter" (character assassination), ya, sudah jelas niatnya.

Tetapi tidak semua warganet bisa cepat menyadari bahwa suatu berita ternyata hoaks belaka. Sudah begitu, masih juga dibagikan (shared) atau disebarkan ke akun media sosial. Hoaks berantai pun tidak terhindarkan.

Lucunya, ketika suatu waktu mengetahui bahwa berita yang dibagikan itu hanya hoaks, pembagi tingkat pertama sampai ketiga ternyata malu meminta maaf atas kebohongan yang telah disebarluaskan.

Natanael dan Thomas

Saya termasuk anggota warganet yang tidak cepat percaya pada persebaran hoaks, baik yang terlihat logis maupun sama sekali tidak logis. Barangkali latar keaktifan masa mahasiswa di pers mahasiswa membuat saya tidak mudah percaya. Barangkali pula, dengan tanpa perlu malu, saya mengakui bahwa saya diam-diam belajar pada Thomas--seorang murid Yesus Kristus.

Sebenarnya, sejak awal kehadiran Yesus, Natanael-lah yang lebih dulu kurang percaya mengenai kebenaran dibanding Thomas. "Karena Aku berkata kepadamu : Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya?" komentar Yesus pada Natanael.

Sayangnya, pamor kekurangpercayaan Natanael dikalahkan oleh Thomas karena berkaitan dengan hal paling esensial dalam kekristenan, yaitu kebangkitan Yesus Kristus. Tentu saja hal ini pun menyebabkan orang Kristen mengenal Thomas sebagai satu-satunya murid yang paling susah untuk percaya pada kebenaran sehingga muncul satu cerita dalam Injil yang khusus untuk Thomas, yaitu Yesus Menampakkan Diri kepada Thomas.

"Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya," kata Thomas kepada murid-murid Yesus lainnya. Tidak cukup hanya melihat tetapi ditambah dengan merasakan melalui mencucukkan jari dan tangan. Lengkap, 'kan?

Thomas dan Hoaks

Saya sudah menyinggung mengenai Natanael dan Thomas berkaitan dengan suatu kepercayaan terhadap kebenaran. Mengenai hal ini saya lebih mengutamakan Thomas karena, ya, persoalan percaya-tidak percaya lebih melekat pada sosok Thomas dibanding Natanael.

Selisih zaman berangka sekitar 2.000 tahun bukanlah berarti tanpa relevansi atau justru dicari-cari relevansinya. Ini menyangkut soal percaya-tidak percaya di era kencangnya laju informasi-komunikasi menembus ruang-waktu, dan tidak perlu pula saya mengikutkan Harry Panca dalam Dunia Lain.

Kencangnya laju informasi-komunikasi mutakhir, mau-tidak mau atau suka-tidak suka, diiringi pula dengan berita yang tidak jelas alias bohong. Kalau Thomas tidak mudah percaya pada berita benar (kebenaran), saya belajar padanya justru pada berita bohong (hoaks).

Memang, Thomas tidak memerlukan waktu lama (berbulan-bulan atau bertahun-tahun) untuk suatu kebenaran, sementara saya memerlukan waktu cukup lama untuk percaya pada suatu kebohongan (hoaks). Ya, semisal tadi, cerita Rommy yang baru 2018 ini menyingkap hoaks, bahkan fitnah (bukankah fitnah lebih kejam daripada membunuh?), tentang Jokowi pada Pilpres 2014 alias sekitar 4 tahun. Sepakat-tidak sepakat, ajaran Thomas perlu saya pergunakan di era kekinian.

 

*******

Panggung Renung -- Balikpapan, 18 April 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun