Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Jakarta Melulu, Sih?

5 Agustus 2016   23:19 Diperbarui: 6 Agustus 2016   15:24 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebagian orang di luar Jakarta, terutama di luar Pulau Jawa, saling membisik, mengapa berita nasional selalu diramaikan oleh hal-hal seputar Jakarta, apalagi menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017, padahal Indonesia bukan hanya Jakarta. Ya, mengapa Jakarta melulu, sih?

Secara Umum

Sebutannya saja sudah jelas: Daerah Khusus Ibukota, khususnya Ibukota Negara Republik Indonesia (R.I.). Di provinsi inilah ditempatkannya Pusat Pemerintahan R.I. Di sini pulalah awal ditempatkannya media massa, baik cetak maupun elektronik, yang sering disebut-sebut sebagai media nasional, baik milik negara (Radio Republik Indonesia dan Televisi Republik Indonesia) maupun swasta.

Tentunya ada kaitan langsung dalam tempo sesingkat-singkatnya ketika segala tata kelola kehidupan seputar Jakarta mendapat aksesbilitas pertama dalam penyiarannya ke seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebelum maraknya media-media lokal di beberapa daerah yang cukup jauh dari Jakarta. Apalagi ketika geliat ekonomi dan lain-lain nasional masih dipusatkan di Provinsi Orang Betawi ini.

Apakah tidak ada “ibukota” lainnya? Oh, banyak. Di antaranya Ibukota Budaya, yaitu Yogyakarta; Ibukota Pariwisata, yaitu Bali; Ibukota Melayu, yaitu Riau; Ibukota Pelaut, yaitu Makassar; Ibukota Garam, yaitu Madura; Ibukota Aspal, yaitu Buton; Ibukota Mode, yaitu Bandung; Ibukota Fesien, yaitu Jember; Ibukota Emas, yaitu Papua; dan lain sebagainya. Tetapi “ibukota lainnya” itu, tentu saja, sebatas obrolan alias tidak legal.

Kembali ke Ibukota Negara beserta segala aspek legalitas nasionalnya yang bertempat di Jakarta, termasuk sejarah pusat imperialisme paling ramai (Belanda) sebelum Indonesia merdeka hingga penetapan posisi Ibukota negara beserta Kepala Negara R.I. alias presiden pertama, tentu saja, daerah ini menjadi magnet yang luar biasa. Orang dari Sabang sampai Merauke dan dari Talaud sampai Rote terkumpul di Jakarta, apalagi dengan ditempatkannya pula Dewan Perwakilan Rakyat.

Jakarta sebagai ibukota negara pun sudah menjadi pengetahuan resmi bagi dunia internsional. Aksesbilitas antarnegara pun terpusat di Jakarta, meski bandara internasionalnya bergeser ke wilayah Provinsi Banten, tepatnya Cengkareng. Tak pelak, kepentingan antarnegara (lintasnegara; multinasional) pun terpusat di Ibukota Negara R.I., kecuali jika dulu (zaman Soekarno) ibukota negara langsung dipindahkan ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Dengan keramaian yang terpusat di Ibukota, realitas kehidupan sosiologis-ekologis pun sangat kompleks. Bencana banjir, musibah kebakaran, persoalan polusi, tragedi kemanusiaan, masalah macet, dan lain-lain pun merupakan berita-berita yang menjadi keseharian, baik dalam obrolan di gang-gang sempit maupun dalam penyiaran media hingga jauh ke luar Jakarta.

Realitas yang kompleks sekaligus kedekatan-kemudahan dalam aksesbilitasnya dengan pemerintah pusat tersebut, mau-tidak mau atau sepakat-tidak sepakat, menjadikan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta semacam sebuah barometer sistem pemerintahan daerah. Hal ini pun terkait dengan responsbilitas tamu-tamu negara. Persoalan-persoalan yang mencuat di provinsi ini akan seketika mendapat tanggapan dari pemerintahan maupun anggota wakil rakyat R.I.

Jadi, bagaimana; mengapa Jakarta melulu; mengapa berita seputar kepala pemerintahan Provinsi DKI Jakarta melampaui berita kepala daerah lainnya di Indonesia dalam penyiaran media-media nasional, khususnya media elektronik?

Secara Khusus

Secara khusus ini dari sisi saya (penulis) sendiri. Saya pernah tinggal (selama 3 tahun) di Jakarta, tepatnya Jakarta Barat, meskipun Ibukota tidaklah pernah masuk dalam daerah tujuan perantauan saya. Saya sering melintasi Jakarta, terkadang singgah sesaat, karena saya lahir hingga tamat pendidikan menengah pertama (TK-SMP Maria Goretti–sebuah sekolah milik sebuah yayasan Katolik, yang mayoritas muridnya beretnis Tionghoa) di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, tepatnya Kabupaten Bangka Induk, lalu melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta.

Selama tinggal di Jakarta saya bisa merasakan suasana yang jauh berbeda dibanding dengan daerah asal saya maupun daerah pendidikan lanjutan saya. Saya tidak pernah menikmati udara segar di Jakarta, selain ketika berada di gedung-gedung berudara buatan. Saya tidak pernah melihat bintang-gemintang di langit Jakarta.

Sebelumnya saya tidak pernah melihat banjir yang rutin selain di Jakarta, khususnya di persimpangan Grogol, depan Indosiar, daerah Rawa Buaya, dan lain-lain. Ada pula peristiwa bersamaan antara banjir dan kebakaran. Sebelumnya saya tidak pernah melihat para perempuan berpakaian minimalis yang menawarkan kenikmatan malam di beberapa tempat secara terbuka dan merdeka selain di Jakarta. 

Sebelumnya pula saya tidak pernah melihat serombongan pelajar SMP menghadang sebuah angkutan umum sambil membawa kayu dan parang di sekitar Jembatan Pesing lalu masuk angkutan itu menuju ke sebuah tempat untuk tawuran. Sebelumnya lagi saya tidak pernah melihat tawuran antarpenghuni gang bertetangga selain di Jakarta. Dan seterusnya, yang terlalu panjang apabila diuraikan dengan kata-kata.

Dan, selama tinggal di Jakarta-lah saya belajar mengenai kehidupan yang sarat kepentingan untuk bertahan hidup. Pentingnya belajar mengenai jaringan (relasi) lintas-status sosial, kompromi-toleransi atau bersimbiosis mutualisma yang sejati, mendalami pekerjaan secara profesional dan tertib administratif di bawah pimpinan para bos beretnis Tionghoa asal daerah saya, selalu ada kesempatan bekerja karena kebaikan bos-bos saya, waspada ketika berada dalam angkutan umum, dan lain-lain.

Oleh sebab pernah melintasi, membaca berita, bahkan benar-benar tinggal di Jakarta, lantas saya berani mengambil keputusan untuk meninggalkan Jakarta, dan melanjutkan perantauan. Jakarta selalu menawarkan peluang pekerjaan pada saya tetapi tidak mampu memberi jaminan agar saya bisa menetap tinggal, berkeluarga, dan sampai tua bangka (tidak ada tua jakarta ataupun tua belitung, ‘kan?).

Komunikasi antara saya (yang sudah berada jauh di luar Jakarta) dan kawan-kawan asli Jakarta masih terjalin, termasuk ketika Pilgub 2013 silam. Satu hari menjelang coblosan, seorang kawan di Jakarta Barat sempat meminta masukan dari saya via telpon seluler mengenai pasangan yang tepat untuk dipilihnya. Tentu saja saya tidak mampu memberi jawaban, kecuali menganjurkannya untuk memilih tanpa membawa hati (membawa perasaan atau baper–singkatan kini) karena kalau kelak tidak sesuai dengan suasana hatinya justru akan menjadi sakit hati di kemudian hari.

Jadi, secara pribadi saya tidaklah menanyakan tanpa berkesudahan, mengapa Jakarta melulu. Ya, sebab terlalu sering saya mendengar kata “lu”, semisal dalam istilah “lu jual, gue beli”, di samping ente.

*******

Panggung Renung, 6 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun