Secara khusus ini dari sisi saya (penulis) sendiri. Saya pernah tinggal (selama 3 tahun) di Jakarta, tepatnya Jakarta Barat, meskipun Ibukota tidaklah pernah masuk dalam daerah tujuan perantauan saya. Saya sering melintasi Jakarta, terkadang singgah sesaat, karena saya lahir hingga tamat pendidikan menengah pertama (TK-SMP Maria Goretti–sebuah sekolah milik sebuah yayasan Katolik, yang mayoritas muridnya beretnis Tionghoa) di Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, tepatnya Kabupaten Bangka Induk, lalu melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta.
Selama tinggal di Jakarta saya bisa merasakan suasana yang jauh berbeda dibanding dengan daerah asal saya maupun daerah pendidikan lanjutan saya. Saya tidak pernah menikmati udara segar di Jakarta, selain ketika berada di gedung-gedung berudara buatan. Saya tidak pernah melihat bintang-gemintang di langit Jakarta.
Sebelumnya saya tidak pernah melihat banjir yang rutin selain di Jakarta, khususnya di persimpangan Grogol, depan Indosiar, daerah Rawa Buaya, dan lain-lain. Ada pula peristiwa bersamaan antara banjir dan kebakaran. Sebelumnya saya tidak pernah melihat para perempuan berpakaian minimalis yang menawarkan kenikmatan malam di beberapa tempat secara terbuka dan merdeka selain di Jakarta.
Sebelumnya pula saya tidak pernah melihat serombongan pelajar SMP menghadang sebuah angkutan umum sambil membawa kayu dan parang di sekitar Jembatan Pesing lalu masuk angkutan itu menuju ke sebuah tempat untuk tawuran. Sebelumnya lagi saya tidak pernah melihat tawuran antarpenghuni gang bertetangga selain di Jakarta. Dan seterusnya, yang terlalu panjang apabila diuraikan dengan kata-kata.
Dan, selama tinggal di Jakarta-lah saya belajar mengenai kehidupan yang sarat kepentingan untuk bertahan hidup. Pentingnya belajar mengenai jaringan (relasi) lintas-status sosial, kompromi-toleransi atau bersimbiosis mutualisma yang sejati, mendalami pekerjaan secara profesional dan tertib administratif di bawah pimpinan para bos beretnis Tionghoa asal daerah saya, selalu ada kesempatan bekerja karena kebaikan bos-bos saya, waspada ketika berada dalam angkutan umum, dan lain-lain.
Oleh sebab pernah melintasi, membaca berita, bahkan benar-benar tinggal di Jakarta, lantas saya berani mengambil keputusan untuk meninggalkan Jakarta, dan melanjutkan perantauan. Jakarta selalu menawarkan peluang pekerjaan pada saya tetapi tidak mampu memberi jaminan agar saya bisa menetap tinggal, berkeluarga, dan sampai tua bangka (tidak ada tua jakarta ataupun tua belitung, ‘kan?).
Komunikasi antara saya (yang sudah berada jauh di luar Jakarta) dan kawan-kawan asli Jakarta masih terjalin, termasuk ketika Pilgub 2013 silam. Satu hari menjelang coblosan, seorang kawan di Jakarta Barat sempat meminta masukan dari saya via telpon seluler mengenai pasangan yang tepat untuk dipilihnya. Tentu saja saya tidak mampu memberi jawaban, kecuali menganjurkannya untuk memilih tanpa membawa hati (membawa perasaan atau baper–singkatan kini) karena kalau kelak tidak sesuai dengan suasana hatinya justru akan menjadi sakit hati di kemudian hari.
Jadi, secara pribadi saya tidaklah menanyakan tanpa berkesudahan, mengapa Jakarta melulu. Ya, sebab terlalu sering saya mendengar kata “lu”, semisal dalam istilah “lu jual, gue beli”, di samping ente.
*******
Panggung Renung, 6 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H