Suatu sore tanpa matahari saya dan seorang rekan arsitek–sebut saja Demun–berada di sebuah jembatan untuk melihat panorama di sekitarnya. Kendaraan (perahu) para nelayan, bangunan rumah tinggal mereka, dan sebuah rumah susun yang tidak jauh dari lingkungan mereka.
Kalau sudah begitu, apakah saya dan Demun hanya diam? Tentu saja tidak. Seketika saya dan dia menceburkan diri dalam perbincangan seputar bangunan (arsitektur), berkaitan dengan sebuah presentasi seorang rekan lainnya tentang penataan perkampungan nelayan sekitar tempat itu beberapa waktu lalu.
***
Ya, berkaitan antara presentasi dan kenyataan di depan mata, Demun berpendapat bahwa persoalan pada rumah tinggal nelayan di atas air hanya pada utilitas, khususnya sanitasi, yaitu jamban, saluran limbah padat, septikteng, dan sejenisnya. Kalau persoalan sampah atau limbah rumah tangga yang terlihat mengambang atau bertumpuk di bagian tertentu, perlu adanya solusi bersama.
Demun pun membandingkannya dengan sebuah kawasan pemukiman nelayan di India. Katanya, justru orang Barat sangat mengagumi pemukiman nelayan di India, dengan kekhasannya.
Baiklah. Pertama, pendapat saya, persoalannya adalah cara pandang. Persoalan cara pandang antara orang yang biasa tinggal (berhabitat) di tengah daratan dan orang yang tinggal di pinggir daratan (sekitar perairan). Bagaimana bisa relevan jika orang daratan berpandangan mengenai kawasan pemukiman orang tepian (perairan), padahal orang daratan tidak pernah tinggal di kawasan tepian? Bukankah, baik orang daratan maupun tepian, akan berpandangan sesuai dengan latar tempatnya sendiri?
Tentunya nenek moyang para nelayan telah mengajarkan perihal tempat tinggal kepada keturunan mereka. Perihal semacam ini tidak pernah dialami oleh orang-orang bernenek moyang di tengah daratan tetapi keturunan dari nenek moyang orang tengah daratan malah seakan merasa lebih hebat memikirkan perihal rumah tinggal atau pemukiman nelayan daripada keturunan dari nenek moyang para nelayan.
Kedua, perihal kearifan lokal (genius loci) yang tidak berada pada tempatnya. Kearifan lokal orang daratan berbeda dengan kearifan lokal orang tepian. Hal paling jelas adalah tanah atau air merupakan bagian kehidupan yang sangat memengaruhi kearifan lokal itu sendiri karena tanah atau air menjadi media bagi nenek moyang untuk dikelola sebagai bagian penting bagi kehidupan sehari-hari hingga seterusnya bagi keturunannya.
Tentunya, untuk membangun rumah tinggal di atas tanah ataupun air, tidaklah serta-merta dilakukan. Demikian pula ketika menempati rumah tinggal di atas tanah ataupun air, masing-masing penghuni akan berpijak pada tanah atau air ketika berada di luar rumah. Kebutuhan ruang individu (satu keluarga) antara orang daratan dan orang tepian pun, tentu saja, berbeda. Apalagi kebutuhan ruang sosial (lebih satu keluarga).
Ketiga, berkaitan dengan penataan kawasan pemukiman orang tepian, sebagian keturunan orang daratan mendadak berpikir konyol, bahwa penataan pemukiman orang tepian disesuaikan dengan penataan pemukiman orang daratan. Untuk menata kawasan pemukiman orang tepian, orang daratan tidaklah tepat menggunakan teori-teori orang daratan.
Keempat, yang tidak kalah konyolnya adalah rumah susun (bangunan berlantai banyak atau bertingkat tinggi) bagi orang tepian. Rumah susun yang diperuntukkan bagi orang tepian merupakan hasil berpikir sempit dari orang daratan yang, kebetulan, berwenang atas suatu kebijakan (kebijakan yang sangat tidak bijaksana).
Kalau mau jujur, rumah susun juga merupakan suatu media sangat konyol bagi orang daratan, khususnya mereka yang berlatar asal memiliki halaman di permukaan tanah yang cukup luas di kampung halamannya. Orang-orang daratan terpaksa bertempat tinggal di bangunan bertingkat tinggi karena keterbatasan lahan (tanah), bahkan penguasaan suatu lahan. Kakek-nenek atau orangtuanya ‘terpaksa’ tinggal di lantai kesekian tetapi situasi tersebut kemudian justru menjadi habitat baru bagi anak-anak bahkan turun-temurun sehingga anak-keturunannya merasa wajar-lumrah-biasa saja berhabitat di bangunan berlantai banyak tersebut.
Dari keempat hal tersebut saya berpendapat bahwa sebagian bangunan yang terhampar di depan mata merupakan bangunan yang sama sekali tidak berpijak alias tidak memiliki pijakan yang sesuai dengan tempatnya. Sebagian arsitek atau penentu kebijakan tata bangunan atau tata kawasan tidak memahami bahwa pijakan bagi bangunan atau kawasan tidaklah pantas disamakan bahkan diseragamkan.
***
Sebenarnya perbincangan antara saya dan Demun pada sore itu lebih dari hal-hal di atas. Tidak lupa mengaitkannya lagi dengan penataan kawasan Kali Code di Yogyakarta yang mengerucut pada karya besar Mangunwijaya–seorang ‘nabi’ arsitektur yang membuat Kitab Suci “Wastucitra”.
Bagi saya, setiap pembincangan bangunan (arsitektur) dan suatu kawasan mengembalikan saya kepada suasana perkuliahan, dimana teori tentang habitat daratan tidak bisa menjadi satu-satunya dogma yang mutlak diberlakukan pada kenyataan habitat tepian. Entahlah bagi Demun. Dan saya tidak patut memaksakan pemikiran saya merasuki pemikiran Demun yang merupakan sesama arsitek juga.
*******
Panggung Renung, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H