Kalau mau jujur, rumah susun juga merupakan suatu media sangat konyol bagi orang daratan, khususnya mereka yang berlatar asal memiliki halaman di permukaan tanah yang cukup luas di kampung halamannya. Orang-orang daratan terpaksa bertempat tinggal di bangunan bertingkat tinggi karena keterbatasan lahan (tanah), bahkan penguasaan suatu lahan. Kakek-nenek atau orangtuanya ‘terpaksa’ tinggal di lantai kesekian tetapi situasi tersebut kemudian justru menjadi habitat baru bagi anak-anak bahkan turun-temurun sehingga anak-keturunannya merasa wajar-lumrah-biasa saja berhabitat di bangunan berlantai banyak tersebut.
Dari keempat hal tersebut saya berpendapat bahwa sebagian bangunan yang terhampar di depan mata merupakan bangunan yang sama sekali tidak berpijak alias tidak memiliki pijakan yang sesuai dengan tempatnya. Sebagian arsitek atau penentu kebijakan tata bangunan atau tata kawasan tidak memahami bahwa pijakan bagi bangunan atau kawasan tidaklah pantas disamakan bahkan diseragamkan.
***
Sebenarnya perbincangan antara saya dan Demun pada sore itu lebih dari hal-hal di atas. Tidak lupa mengaitkannya lagi dengan penataan kawasan Kali Code di Yogyakarta yang mengerucut pada karya besar Mangunwijaya–seorang ‘nabi’ arsitektur yang membuat Kitab Suci “Wastucitra”.
Bagi saya, setiap pembincangan bangunan (arsitektur) dan suatu kawasan mengembalikan saya kepada suasana perkuliahan, dimana teori tentang habitat daratan tidak bisa menjadi satu-satunya dogma yang mutlak diberlakukan pada kenyataan habitat tepian. Entahlah bagi Demun. Dan saya tidak patut memaksakan pemikiran saya merasuki pemikiran Demun yang merupakan sesama arsitek juga.
*******
Panggung Renung, 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H