Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bangunan Tidak Berpijak

5 Juni 2016   06:55 Diperbarui: 5 Juni 2016   11:44 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau mau jujur, rumah susun juga merupakan suatu media sangat konyol bagi orang daratan, khususnya mereka yang berlatar asal memiliki halaman di permukaan tanah yang cukup luas di kampung halamannya. Orang-orang daratan terpaksa bertempat tinggal di bangunan bertingkat tinggi karena keterbatasan lahan (tanah), bahkan penguasaan suatu lahan. Kakek-nenek atau orangtuanya ‘terpaksa’ tinggal di lantai kesekian tetapi situasi tersebut kemudian justru menjadi habitat baru bagi anak-anak bahkan turun-temurun sehingga anak-keturunannya merasa wajar-lumrah-biasa saja berhabitat di bangunan berlantai banyak tersebut.

Dari keempat hal tersebut saya berpendapat bahwa sebagian bangunan yang terhampar di depan mata merupakan bangunan yang sama sekali tidak berpijak alias tidak memiliki pijakan yang sesuai dengan tempatnya. Sebagian arsitek atau penentu kebijakan tata bangunan atau tata kawasan tidak memahami bahwa pijakan bagi bangunan atau kawasan tidaklah pantas disamakan bahkan diseragamkan.       

***

Sebenarnya perbincangan antara saya dan Demun pada sore itu lebih dari hal-hal di atas. Tidak lupa mengaitkannya lagi dengan penataan kawasan Kali Code di Yogyakarta yang mengerucut pada karya besar Mangunwijaya–seorang ‘nabi’ arsitektur yang membuat Kitab Suci “Wastucitra”.

Bagi saya, setiap pembincangan bangunan (arsitektur) dan suatu kawasan mengembalikan saya kepada suasana perkuliahan, dimana teori tentang habitat daratan tidak bisa menjadi satu-satunya dogma yang mutlak diberlakukan pada kenyataan habitat tepian. Entahlah bagi Demun. Dan saya tidak patut memaksakan pemikiran saya merasuki pemikiran Demun yang merupakan sesama arsitek juga.

*******

Panggung Renung, 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun