21 April diperingati sebagai Hari Kartini setelah pada 2 Mei 1964 Presiden Soekarno menetapkan Raden Ajeng Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional melalui surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 sekaligus menetapkan hari lahirnya, 21 April, untuk diperingati. Sampai 21 April 2016 ini sebagian wanita Indonesia ‘ingin’ menjadi generasi penerus Kartini.
Peringatan Hari Kartini dikenal sejak masa SD melalui kegiatan seputar ke-Kartini-an. Sejak masa itu tidak sedikit perempuan ‘ingin’ seperti Kartini. Di luar bangku pendidikan formal, juga ada kegiatan ber-Kartini, dengan lomba ini-itu. Sebagian pun mengangkat beberapa sosok wanita sebagai “Kartini Masa Kini” dengan kriteria-kriteria tertentu.
Kartini, yang terkenal dengan pendidikan dan kegiatan tulis-menulis (surat-menyurat ketika itu), memang kini, sejak era teknologi internet, banyak sekali wanita yang memiliki ‘kemiripan’. Berpendidikan tinggi, berkarier bagus, gemar tulis-menulis, dan seterusnya. Barangkali, kalau ada Lomba Kartini Nasional dengan hadiah menggiurkan, jumlah pesertanya bisa membludak.
Baiklah jika memang demikian, dan menyandang gelar “Kartini Nasional 2016”, “Kartini Nasional 2017”, dan seterusnya setelah sesuai dengan kriteria-kriteria yang ada. Tentunya bisa menjadi kebanggaan tingkat nasional karena bersaing dengan jutaan wanita se-Indonesia.
Akan tetapi, bagaimana kalau kriteria menjadi “Kartini Nasional Masa Kini” juga sesuai dengan kriteria lainnya, paling tidak, ada empat? Apa itu “kriteria lainnya”?
Pertama, dari golongan bangsawan, atau dari golongan keluarga pejabat daerah, karena R.A. Kartini berasal dari golongan itu.
Kedua, menikah karena “disuruh” atau “dijodohkan” oleh orangtua.
Ketiga, menikah dengan pejabat nomor 1 di suatu daerah, minimal kabupaten.
Keempat, pejabat itu sudah memiliki tiga istri atau sudah tiga kali menikah.
Empat itu saja tambahan kriterianya sebagaimana sebuah nukilan tulisan “Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri; Kartini menikah pada 12 November 1903”.
Nah, kira-kira, bagaimana situasi persaingan untuk lomba Kartini apabila keempat kriteria tadi menjadi suatu yang wajib agar benar-benar tepat mendapat gelar “Kartini Nasional”? Apakah pesertanya tetap membludak?
Tentunya banyak kalangan yang akan menentang keempat kriteria tersebut. Mengapa? Karena, apalagi zaman sekarang, tidaklah mudah memenuhi keempat kriteria tersebut. Karena, dan karena lain-lainnya.
Baiklah jika demikian “alasan” melalui “karena-karena”. Tetapi, pernahkah terbayangkan, alangkah tidak menyenangkan seorang R.A. Kartini menjalani “nasib” atau “takdir”-nya?
Justru dengan adanya empat kriteria tambahan itu, sangat mungkin, sebuah gelar “Kartini Nasional” alias “Kartini Masa Kini yang Ideal” layak-patut-pantas disandang oleh pemenangnya karena mengalami suatu bagian yang pernah R.A. Kartini jalani. Dan, ternyata, memang tidak semudah yang masih dibayangkan oleh kebanyakan orang Indonesia, terlebih orang Indonesia masa kini.
*******
Panggung Renung, 21 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H