Kuakui bahwa senyum gadis yang berkaus oblong putih polos, bercelana jins biru dan bersandal jepit Swallow itu pun tak kalah indah dibanding aksi seni rupa senja di dekat kaki langit barat sana. Tapi senyum bukan jawaban yang kubutuhkan.
Sejak lebih dari tiga kali dia menemaniku duduk di tebing tembok miring yang tak henti digerayangi jemari laut sambil menikmati puncak kegemilangan matahari sekaligus salam perpisahan yang paling aduhai, ditingkahi kapal-kapal nelayan yang bergegas hingga ditelan garis horison di ujung laut sana atau juga sesekali satu-dua perahu besar melintas perlahan, masih saja dia belum sudi memberi tahu asal-muasal atau alamat tinggalnya di Ibukota Bangka Barat ini.
“Apakah itu penting?”
Tak jarang pula kalimat tanya itu dilontarkannya sejak jumpa pertama hingga senja ini. Seingatku, usai jumpa pertama, kami berpisah di pertigaan dekat gedung bekas bioskop yang kini disulap menjadi penginapan megah bagi burung-burung walet.
Usai jumpa kedua, kami berpisah di sebuah mini market. Waktu itu dia hendak membeli sesuatu. Aku sendiri tidak terlalu suka membuang waktu di tempat semacam itu, selain karena aku khawatir membeli sesuatu di luar anggaran dan pengeluaran pribadiku.
Usai jumpa ketiga, kami bersua sahabatnya yang kebetulan melintas dengan sepeda onta, dan dia menumpang di sadel belakang. Berikutnya, aku selalu saja gagal mengantarnya.
Aku sempat heran sendiri, kenapa sampai beberapa kali gagal. Namun berikutnya aku pun berpikir, seberapa pentingkah tempat tinggal atau asal-usulnya bagiku.
***
Aku tidak tahu seberapa banyak waktu lagi yang masih kupunyai untuk bisa terus (dengan atau tanpa gadis itu) menikmati senja di sini. Tidak selamanya aku sempat atau mampu melakukan perjalanan bolak-balik dari kotaku ke mari.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya setelah berdua dengannya mengantarkan matahari rebah di peraduan. Apakah kelak aku tidak akan datang lagi dan melupakan masa bersenja-senja bersamanya? Apakah selanjutnya menerbitkan bahkan mengkristalkan jalinan persahabatan di antara kami, ataukah malah menjurus ke… cinta.
Cinta? Apakah setiap pertemuan dan hubungan dua orang muda berbeda jenis kelamin akan selalu melahirkan cinta? Apakah harus begitu? Kalau kecenderungannya begitu, cinta jenis apa yang akan terjadi dalam perjalanan waktu seorang anak manusia, serta ada berapa banyak lawan jenis yang akan masuk dalam daftar orang-orang yang pernah dicintainya?