Letak rumah Pak Kiman masih lekat dalam ingatan saya. Dua tiang ulin (kayu hitam) yang masih utuh (bulat) di teras sampingnya adalah penanda utama sejak Imlek 2012. Dan, memang tidak berubah.
Sekitar pkl. 15.00 WITA saya berada di teras samping yang berkursi potongan kayu ulin itu. Pak Puji belum sampai. Ketika saya hubungi, tidak ada sahutan di seberang udara sana. Baiklah, saya lanjutkan obrolan dengan Pak Kiman.
Pak Kiman berasal dari Kampung Opas, Pangkalpinang, Bangka. Saya teringat, di daerah itu terdapat kantor konsultan bangunan, yang pernah menjadi tempat kerja saya. Oh, ini suatu kebetulan seperti apa lagikah?!
Berikutnya Pak Kiman berada di Balikpapan pada 1999. Menempati rumah bertiang ulin itu sejak 2002. Dia masih memiliki lahan seluas 4 hektar di daerah Balikpapan Timur. Sebagian lahannya di sana ditanaminya dengan pepohonan buah, dan sedang ditanami sahang (lada; merica) yang berasal dari Bangka.
Ya, Pak Kiman memang rajin berkebun. Berkebun merupakan salah satu kegiatan yang ditekuni oleh masyarakat Tionghoa-Bangka. Bahkan, saya tidak heran, seorang kawan sealumni saya di SMP Maria Goretti adalah seorang pekebun sayur di daerah Jalan Laut, Sungailiat.
Kemudian saya sempatkan menghubungi Pak Puji lagi. Tersambung. Ternyata Pak Puji ketiduran. Pak Puji pun segera berangkat ke rumah Pak Kiman.
Pkl. 17.50 WITA Pak Puji datang. Tapi saya tidak bisa menemani ngobrol tingkat lanjut karena saya harus pulang (setelah perut kenyang soto dan es buah cempedak). Ya, pkl. 18.15 WITA saya berpamitan pada Pak Kiman sekeluarga.
Imlek 2567 atau 2016 M ini alangkah senangnya saya, meski hanya berkunjung ke dua rumah orang Tionghoa. Senangnya saya karena bisa ber-Imlek lagi, ngobrol dengan sesama Bangka, dan berbahasa Bangka bercampur Tionghoa. Terasa sekali Bangka-nya!
Â
*******
Panggung Renung – Balikpapan, 8 Februari 2016