Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Debu-debu Bangunan

1 Februari 2016   20:58 Diperbarui: 1 Februari 2016   21:20 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ya, saya sebut sekenanya saja “Dul” menggantikan entah siapa namanya, yang datang tanpa permisi dan perkenalan yang selazimnya itu. Dia tersenyum lebar hingga memamerkan gigi depannya yang tidak lengkap lagi.

 

Mandor Suryadi ikut tersenyum. Barangkali burung punai di persembunyiannya pun tersenyum. Kecuali matahari yang semakin beringas membakar kami.

“Kalau aku butuh gadis penghangat ranjang malamku, bos Anda segera menyediakan. Seketika itu juga! Gadis-gadis dari kantor Anda sendiri. Cantik-cantik, seksi-seksi, dan permainan mereka, waow!” seru saya sambil menyapukan lidah di bibir kering saya, dan mengacungkan jempol. “Hot! Bikin ketagihan!”

Dia tidak menimpali, tapi berpaling sejenak ke arah bangunan yang menunggu pengerjaan struktur atap itu. Lalu menghadap saya lagi, dan menanyakan nama saya.

“Namaku Saroji. Ingat ya. Sa-ro-ji! Bos Anda mengenal nama pendekku, Oji!”

“Oooo… ini rupanya Bang Oji itu! Waduh, baru kali ini aku bisa ketemu langsung dengan penulis yang sangat digandrungi staf-staf wanita di kantor kami, termasuk wanita setengah baya di bagian dapur.”

Sialan, maki saya dalam hati. Mulai tidak sopan lagi dia, sampai ke soal urusan nafsu di dapur kantor mereka segala. Maaf-maaf saja. Biar tampang saya serampangan begini, saya masih gampang memilih. Tidak sembarangan! Kalau memang cantik, molek, dan rela saya ‘gituin’ tanpa pamrih ini-itu, tentu saja berbeda persoalan.

“Namaku Aleksander, Bang. Cukup panggil Alek. Biar jelek tapi intelek, kata orang,” ujarnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya.

Segera saya sambut jabat tangannya. Saya mengerti betapa pentingnya arti persahabatan dengan media massa, khususnya koran lokal. Jika ada wartawan yang dianggap cuma menyebarkan gosip murahan, terutama oleh kalangan selebritis lokal atau public figure, sebenarnya konsekuensi logis bagi ‘korban gosip’. Perilaku yang baik dan bersahabat, mana mungkin menjadi bahan berita gosip buruk. Itu menurut prasangka saya saja.

Beberapa kuli melihat adegan jabat tangan kami. Ada yang tersenyum. Ada yang saling menatap sambil cekikikan. Ada yang sama sekali tidak berekspresi. Yang lainnya tidak peduli, kecuali tetap sibuk melakukan pekerjaan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun