“Aku harus bersiap. Tunggu sebentar. Beri waktu sekitar sepuluh menit saja.”
Aku langsung berjalan cepat menuju sumur di depan Rumah Kreasi, Kebun Karya. Di situ terdapat kamar mandi darurat; berdinding seng sarat karat sekaligus bolong-bolong, dan kayu rangka yang telah menjadi sarang rayap.
“Kelihatan lho dari sini.”
“Kalau tidak kelihatan, sebaiknya kamu periksa dulu ke dokter mata sebelum kita berangkat.”
“Ha-ha-ha-ha!”
Aku suka suara tawamu yang lebih renyah daripada kemplang panggang itu. Tawa yang tanpa tendensi politik, atau minimal tidak melecehkan kemanusiaan. Tawa yang tidak pernah kudengar dari para perempuan yang pernah menjadi kekasihku ketika aku masih nomaden dari kota ke kota, dan bergonta-ganti bahkan gemar mengoleksi kekasih.
Sejak aku mengenalmu di Kedai Kopi Paste satu bulan silam, memandang wajahmu dengan raut yang beraneka rupa, mendengar suaramu, melihat gerak-gerikmu ketika mengaduk kapucino, apalagi parfummu yang selalu menghasut hidungku, pada saat itu juga pikiranku hanya ada kamu. Aku sama sekali tidak memahami, apakah aku telah dengan tidak sengaja menjerumuskanmu ke kantong pikiranku ataukah kamu telah menguasai isi kepalaku tanpa kusadari.
Tapi aku harus segera bersiap. Belum genap lima menit aku menyelesaikan acara mandi dan sikat gigi. Kuharap aroma sabun berslogan “kegantengan bintang-bintang film” dan pasta gigi “bunga setaman” itu berhasil menyingkirkan segala yang tidak harum. Dengan setengah berlari aku kembali masuk ke rumah, melewatimu yang tengah sibuk mengutak-atik smartphone di beranda.
“Permisi, numpang lewat.”
“Ya.” Kamu bergeming dengan gadget. Sibuk sekali tampaknya. Memang alat mutakhir sering mengalihkan perhatian penggunanya terhadap hal-hal nyata di sekelingnya. Tapi syukurlah, kamu tidak sempat memergoki handuk bututku yang bolong di bagian pantat.