Aku tidak mengerti adik-adikku memiliki rencana apa bersama kawan sekolahnya. Pasalnya, libur dua hari, guru-gurunya memberi tugas dengan beberapa soal yang harus diuraikan dengan bahan-bahan yang bisa diperoleh di internet. Tak pelak aku harus membagi kesempatan Lia untuk mengerjakan tugas, termasuk ketersediaan pulsa modem eksternal.
Sering aku berpikir, mengapa generasi Lia seakan dipaksa untuk menggunakan teknologi yang belum tentu bisa dibeli oleh semua orang tua murid. Seakan suatu kewajiban. Seakan semua orang tua murid kaya, mampu membeli perangkat teknologi.
“Bang!”
Aku tersentak. Aduh, Ria mengagetkan saja, membuyarkan lamunan sesaatku.
“Kenapa?”
“Besok aku mau ke rumah Susi. Mau bikin rujak. Jambunya berbuah banyak.”
“Ya, pergilah. Jangan lupa, bawa payung, dan sisa rujaknya dibawa pulang juga.”
Ria tidak menjawab. Aku pun tidak mencecarnya sebab aku paham, Ria tidak berani mengatakan “ya” atau “tidak” soal rujaknya. Dia memilih diam, dan aku selalu paham.
Ria meletakkan tas kresek berisi bukunya ke tempat duduk dari bambu. Dirogohnya tas itu, dan diambilnya dua butir jambu air. Aku paham, jambu air itu bukti untuk rencananya besok.
Semoga cuaca bersahabat dengan mereka, gumamku.
Di musim penghujan, cuaca bisa berubah tanpa ada pengumuman melalui kelurahan. Pagi yang dikepung mendung bisa saja batal hujan lantas siangnya suhu udara sangat gerah. Atau, pagi yang cerah, hanya hitungan sekian jam, lantas mendung menyerbu menjadi hujan sampai sore. Sering merepotkan. Entah mengapa alam kurang kompak; musimnya jelas tapi cuacanya yang tidak jelas.