“Kamu yang hari raya, banyaknya makanan di rumahmu, malah bertamu ke rumahku, pagi-pagi minta sirup ke sini. Lebaran kami masih jauh. Bagaimana, sih?”
“Kejutan awal tahun, Gul. Lumayan untuk senam jantung. Tapi, terima kasih lho, ya, sudah memenuhi permintaanku yang sederhana ini.”
Aku sengaja tidak mau mengatakan bahwa aku harus berkunjung ke rumah Pak Sarwan alias rumahnya Oji karena “disuruh Mama”. Kalau Degul mendengar “disuruh Mama”, bisa tertawa ngakak sambil mengejek aku habis-habisan.
Kemudian, kalau Degul mengisahkan perihal itu ke kawan-kawan di kampung kami, alangkah malunya aku. Terlebih lagi kalau kabar memalukan ini sampai ke telinga Zaenab, hancurlah perjuangan. Masak, sih, belum mendapat sambutan rasa, reputasiku sudah hancur berantakan gara-gara “disuruh Mama”. Oh, jangan sampailah.
“Oh, iya nih! Kamu sudah dapat kabar, belum?”
“Kabar apa, Gul? Kamu juga aneh, pagi-pagi sudah seperti burung saja.”
“Jam enam tadi bapakku ngantar Om Sarwan ke rumah sakit. Jantungnya kumat. Nafasnya seakan payah banget keluar-masuk. Gawatnya parah banget! Oji juga di sana, barusan nelpon aku.”
Aku langsung melongo. Dadaku berdebar-debar.
*******
Panggung Renung – Balikpapan, 2016