Dug! Dug! Dug!
“Siapa di kamar mandi?!” teriak adikku sambil menggedor pintu kamar mandi. “Cepetan! Aku kebelet pipis nih!”
Aku tersentak. Seketika buyar segala yang tadinya mengaduk-aduk pikiran pagiku.
“Aku!“ kujawab sambil membuka pintu, lalu secepatnya keluar kamar mandi.
***
Pagi pada hari kedua Tahun Baru aku duduk santai dengan Degul di beranda rumahnya, yang berada di depan rumah kami. Sementara jalan aspal di antara rumah kami belum ramai kendaraan. Bahkan, mungkin, malah tidak akan ramai. Hari libur, biasanya, malah sepi pada pagi hari pukul 08.30. Hanya angkutan lintas kecamatan dan kabupaten yang lewat. Mulai ramainya sekitar pukul 11.00.
Aku dan Degul menikmati udara pagi yang sedang sejuk. Degul belum mandi, dan tadi kebetulan sedang menerima telpon di beranda. Kebetulan juga berandanya sedang lengang. Mungkin mobil bapaknya sedang disewa orang sejak tadi malam untuk acara hari raya Tahun Baru. Biasanya mobil bapaknya di parkir di situ, dan pemandangan agak padat sehingga sangat menghalangi pandanganku ke rumah Zaenab yang bersebelahan dengan sebelah rumah Oji.
Aku sudah satu tahun kemarin naksir berat pada Zaenab tetapi belum berani kuungkapkan taksiranku. Di kampung kami yang pelosok ini, Zaenab merupakan idaman kawan-kawan. Bahkan, aku pernah diberi tahu Degul, kelihatannya Oji naksir Zaenab.
Aku, Degul, Zaenab, dan Oji sepantaran. Tapi hobi Degul main bulutangkis. Degul sering main bulutangkis di halaman depan rumah Zaenab. Aku sering mengambil kesempatan untuk menonton, padahal tujuanku bukanlah itu.
“Kamu ini aneh, Mun,” ujar Degul sambil meletakkan dua gelas sirup melon hangat di meja.
“Aneh kenapa?”