Mohon tunggu...
Agustinus Samgar Friday Fry
Agustinus Samgar Friday Fry Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula

Hobi sepak bola, menulis, membaca, traveling

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Demagog dan Runtuhnya Elektabilitas Ganjar Pranowo

22 Februari 2024   20:23 Diperbarui: 22 Februari 2024   22:27 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kontestasi politik pemilihan calon Presiden Republik Indonesia tahun 2024 telah diperoleh hasil sementara (70% data masuk pada situs resmi KPU) yang menampilkan kenaikan elektabilitas yang signifikan salah satu pasangan calon dan penurunan elektabilitas pada pada paslon lain yang digadang memiliki elektabilitas tinggi pada kondisi pra-kampaye. Pertanyaan yang muncul kemudian mengapa kondisi tersebut bisa terjadi. 

Dalam negara demokrasi, elektabilitas calon politik sangat dipengaruhi oleh perspektif nilai yang dipegang oleh masyarakat dan digunakan untuk mengukur figur atau kandidat politik dalam kontestasi politik. Penurunan elektabilitas salah satu figur dalam kontestasi politik presiden tahun 2024 dapat disebabkan oleh faktor tersebut. 

Pengabaian faktor ini adalah konsekuensi yang harus diterima oleh pasangan calon Ganjar-Mahmud. Politik pencitraan yang terlalu dominan yang diperankan oleh setiap pasangan calon justru menjatuhkan citra paslon yang berdampak pada elektabiltas paslon. 

Gaya kampanye politik demagog yang ditampilkan oleh para paslon baik dalam debat maupun kampanye adalah tampilan minus dalam demokrasi yang mengabaikan nilai yang berkembang di masyarakat bahwa menyerang karakter pihak lain secara negatif adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan sekalipun yang diserang adalah seorang yang paling bersalah. 

Upaya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap paslon lain dan menaikan pengaruhnya melalui penggunaan diksi yang tendensius justru merugikan  dikala masyarakat moderen telah memiliki nilai yang dipegang dan diperoleh berdasarkan pengalaman sejarah politik bangsa.

Politik pencitraan tidak lagi efektif digunakan dalam percaturan politik bangsa kita dikala kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tumbuh dan berkembang. Realitas dan visi yang rasional adalah senjata yang paling efektif dalam percaturan politik masyarkat moderen yang sudah mulai nampak pada masyarakat bangsa indonesia saat ini. 

Gerakan-gerakan penggiringan dalam berbagai bentuk aksi justru mempertontonkan ketidak mampuan dalam berpikir tentang visi dan konsep yang justru semakin memunculkan penilaian minus terhadap aktor ataupun paslon. 

Keyakinan paslon ataupun pendukung dalam melakukan kampanye mungkin saja berpegang pada pengetahuan akan afek (emosional) masyarakat sehingga arah sosiaisasi diri para calon selalu mengarah kepada perasaan yang dapat menimbulkan ketidaksukaan terhadap paslon lain. 

Ada ungkapan yang sudah sering didengar ”jika dalam sebuah perdebatan seorang yang kalah argumentasi akan menyerang karakter lawan debatnya” adalah ungkapan yang mungkin cocok untuk menggambarkan paslon yang dalam kampanye ataupun debat menggunakan serangan kepada paslon lain manakala takut akan suatu kondisi menurunnya elektabilitas diri.   

Suatu kondisi yang mungkin tidak disadari oleh para paslon dan para aktor ataupun pilar pendukungnya dalam upaya untuk menaikan elektabilats paslon adalah bahwa: pertama, demokrasi kita mengharuskan setiap figur yang mungkin saja sangat dipercaya oleh rakyat bila dicalonkan sebagai kepala daerah atau pemimpin negara harus didukung melalui suatu wadah politik yang disebut partai. 

Hal ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tingkat kepercayaan partai tidak akan lebih tinggi dari pada kepercayaan rakyat terhadap figur paslon. Semakin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap figur maka semakin tinggi pula elektabilitas figur yang berdampak juga pada elektabilitas partai pengusung atau pendukungnya  begitu pula sebaliknya, tidak peduli seberapa tinggi pamor partainya. 

Alangkah lebih bagus apabila tingkat kepercayaan partai didukung pula dengan tingkat kepercayaan publik terhadap figur paslon. Kedua, gaya kampanye politik demagog yang ditampilkan kontestan politik. Alih-alih ingin menciptakan kepercayaan publik agar kurang terhadap figur politik yang berdasarkan hasil kepuasan publik mendapat perolehan cukup tinggi dengan harapan menaikan elektabilitas figurnya tanpa didukung dengan hasil kerja yang lebih baik dari pada figur yang diserang justru menjatukan pamor diri sendiri. 

Kinerja pemerintahan joko widodo misalnya dievaluasi secara negatif baik oleh pendukung maupun oleh salah satu paslon ditengah tingginya angka kepercayaan publik terhadap prestasi kerja jokowi yang justru menimbulkan suatu anggapan negatif terhadap sifat paslon yang menyerang (Ganjar Pranowo misalnya). 

Selain itu bentuk serangan langsung terhadap karakater paslon lain baik secara sarkas sebagai pelanggar HAM yang sudah mejadi isu basi yang selalu dimunculkan tiap lima tahun sekali dalam kontetasi pemilu dan belum dapat dibuktikan pelanggarannya maupun mengevaluasi kerja paslon lain  yang berdasarkan kinerja menampakan peningkatan (posisi Indonesia di bidang pertahanan saat ini), hal ini justru menimbulkan penilaian masyarakat sebagai sikap yang angkuh dan berbahaya.  

Ketiga kurang kesadaran aktual. Jualan figur politk yang tidak lagi aktual oleh para paslon ataupun partai pendukung yang tidak mempertimbangan karakteristik pemilih. Karakteristik pemilih indonesia di tahun2024 didominasi oleh kaum milenial yang punya kecederungan untuk merespon suatu kondisi berdasarkan pengalaman fatual yang dialami bukan dari pengalaman sejarah masa lalu. Sehingga jualan politik dengan menggunakan ketokohan di masa lampau tidak akan efektif terhadap kaum milenial.

Selain itu, kejatuhan elektabilatas figur paslon Ganjar-Mahmud juga disebabkan oleh pandangan stereotip masyarakat terhadap partai pengusungnya yang sering menggunkan istilah ”petugas partai” manakala masyarakat yang sekaligus pemilik hak politik  menilai bahwa partai pengusung yang terlalu mendominasi pemimpin pilihan rakyat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan rakyat adalah suatu hal yang tidak berkenan bagi masyarakat.

Gaya kampanye yang cenderung demagog  dalam kontentasi politik pemilihan umum Presiden Republik  Indonesia pada tahun 2024 adalah salah satu faktor penyebab kejatuhan elektabilitas paslon yang bersangkutan. 

Bentuk-bentuk tindakan play victim sampai pada bentuk-bentuk serangan terhadap paslon lain dalam rangkaian diksi atau gestur tidak lah efektif digunakan untuk menaikan elektabitas figur paslon dikala mudah dan tersedianya sumber informasi yang sangat mudah diaskses dan bertambahnya pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat dalam menilai figur masing-masing paslon. 

Semoga gaya kampaye  politik dan bentuk sosialisasi diri para kandidat politik bangsa kita semakin lebih baik, lebih mendidik, rasional, realistis dan visioner demi kemajuan politik bangsa agar terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun