Alangkah lebih bagus apabila tingkat kepercayaan partai didukung pula dengan tingkat kepercayaan publik terhadap figur paslon. Kedua, gaya kampanye politik demagog yang ditampilkan kontestan politik. Alih-alih ingin menciptakan kepercayaan publik agar kurang terhadap figur politik yang berdasarkan hasil kepuasan publik mendapat perolehan cukup tinggi dengan harapan menaikan elektabilitas figurnya tanpa didukung dengan hasil kerja yang lebih baik dari pada figur yang diserang justru menjatukan pamor diri sendiri.
Kinerja pemerintahan joko widodo misalnya dievaluasi secara negatif baik oleh pendukung maupun oleh salah satu paslon ditengah tingginya angka kepercayaan publik terhadap prestasi kerja jokowi yang justru menimbulkan suatu anggapan negatif terhadap sifat paslon yang menyerang (Ganjar Pranowo misalnya).
Selain itu bentuk serangan langsung terhadap karakater paslon lain baik secara sarkas sebagai pelanggar HAM yang sudah mejadi isu basi yang selalu dimunculkan tiap lima tahun sekali dalam kontetasi pemilu dan belum dapat dibuktikan pelanggarannya maupun mengevaluasi kerja paslon lain yang berdasarkan kinerja menampakan peningkatan (posisi Indonesia di bidang pertahanan saat ini), hal ini justru menimbulkan penilaian masyarakat sebagai sikap yang angkuh dan berbahaya.
Ketiga kurang kesadaran aktual. Jualan figur politk yang tidak lagi aktual oleh para paslon ataupun partai pendukung yang tidak mempertimbangan karakteristik pemilih. Karakteristik pemilih indonesia di tahun2024 didominasi oleh kaum milenial yang punya kecederungan untuk merespon suatu kondisi berdasarkan pengalaman fatual yang dialami bukan dari pengalaman sejarah masa lalu. Sehingga jualan politik dengan menggunakan ketokohan di masa lampau tidak akan efektif terhadap kaum milenial.
Selain itu, kejatuhan elektabilatas figur paslon Ganjar-Mahmud juga disebabkan oleh pandangan stereotip masyarakat terhadap partai pengusungnya yang sering menggunkan istilah ”petugas partai” manakala masyarakat yang sekaligus pemilik hak politik menilai bahwa partai pengusung yang terlalu mendominasi pemimpin pilihan rakyat dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan rakyat adalah suatu hal yang tidak berkenan bagi masyarakat.
Gaya kampanye yang cenderung demagog dalam kontentasi politik pemilihan umum Presiden Republik Indonesia pada tahun 2024 adalah salah satu faktor penyebab kejatuhan elektabilitas paslon yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk tindakan play victim sampai pada bentuk-bentuk serangan terhadap paslon lain dalam rangkaian diksi atau gestur tidak lah efektif digunakan untuk menaikan elektabitas figur paslon dikala mudah dan tersedianya sumber informasi yang sangat mudah diaskses dan bertambahnya pengetahuan dan kesadaran politik masyarakat dalam menilai figur masing-masing paslon.
Semoga gaya kampaye politik dan bentuk sosialisasi diri para kandidat politik bangsa kita semakin lebih baik, lebih mendidik, rasional, realistis dan visioner demi kemajuan politik bangsa agar terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H