Makna Filosofis Tatung Sebagai Titisan Dewa Dalam Masyarakat Tionghoa di Singkawang Kalimantan Barat
Abstrak: Tradisi Tatung adalah tradisi menusuk dan mengiris badan dengan benda-benda tajam seperti parang (mandau), susuk lidi dari besi, dan paku. Kebiasaan atau tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di kota Singkawang. Tradisi ini dilaksanakan pada saat perayaan festival Cap Go Meh pada hari ke lima belas setelah tahun Imlek.Â
Perayaan pawai tatung ini masih dilestarikan sampai sekarang ini oleh masyarakat etnis Tionghoa di kota Singkawang. Tatung merupakan titisan dewa di bumi ini untuk membantu manusia dalam kehidupannya, terutama memberikan kesembuhan kepada mereka yang sakit dan untuk mengusir roh-roh jahat dari perkampungan.Â
Dalam tradisi tatung ini ada beberapa unsur filosofis yang sangat berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat Tionghoa yakni tatung sebagai perekat persatuan, tatung sebagai proses humanisasi, dan tatung sebagai peningkatan ekonomi masyarakat.
Pendahuluan
Setiap daerah yang mendiami pulau Nusantara ini memiliki kebudayaan masing-masing yang mereka hayati. Kebudayaan yang ada itulah yang mengatur segala kehidupan dalam masyarakat. Kebudayaan itu dibentuk dan dihidupi oleh manusia itu sendiri, maka dalam setiap daerah itu memiliki kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan bisa dikatakan sebagai hukum utama bagi masyarakat sebelum adanya hukum yang dibentuk oleh pemerintah. Kebudayaan secara tidak langsung melekat dalam diri seseorang. Maka perilaku seseorang itu mencerminkan kebudayaan yang ia hidupi.[1] Setiap budaya dalam daerah pastilah memiliki makna masing-masing dan cara mengaktualisasikan juga berbeda. Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah yang ada di Nusantara ini yang memiliki beranekaragam budaya.Â
Salah satu kebudayaan yang cukup terkenal di daerah Kalimantan Barat adalah kebudayaan Tatung.[2] Â Tatung merupakan ciri khas budaya yang dihidupi oleh masyarakat Tionghoa di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Kota Singkawang atau yang disebut dengan kota amoi tersebut merupakan salah satu kota yang menjunjung tinggi toleransi atar masyarakat. Mayoritas masyarakat yang mendiami daerah Kota Singkawang ialah masyarakat Tionghoa. Itulah menjadi alasan mengapa Kota Singkawang disebut sebagai kota Amoi. Seperti yang tertulis diatas, masyarakat Tionghoa di Singkawang memiliki budaya yang sangat terkenal, bahkan terkenalnya sampai pada tingkat Internasional.[3] Oleh sebab itulah, tidak mengherankan lagi bahwa perayaan Tatung sangat dinanti-nantikan. Budaya Tatung ini dilaksanakan bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek atau yang disebut dengan Cap Go Meh.Â
Perayaan Cap Go Meh merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu oleh para pencinta Tatung. Perayaan Cap Go Meh bukan hanya diikuti dan dinikmati oleh masyarakat Tionghoa saja, melainkan oleh masyarakat Kota Singkawang dan sekitarnya. Bahkan dalam melaksanakan tradisi tersebut orang dayak juga salah satu menjadi aktor atau pemain didalamnya. Tradisi Tatung ini tidak terlibat sepenuhnya masyarakat Tionghoa didalamnya. Sebab orang yang menjadi Tatung itu adalah orang-orang yang memiliki kekuatan magis. Maka yang menjadi Tatung itu hanya orang-orang tua yang memiliki kekuatan magis saja, sedangkan masyarakat Tionghoa lainnya tidak terlibat secara langsung, namun mereka melaksanakan tradisi itu.[4]
Budaya Tatung yang dihidupi oleh masyarakat Tionghoa ini sangat menarik sekali bagi penulis. Maka melalui tradisi Tatung ini penulis melihat ada makna-makna tertentu yang bisa kita ambil untuk kehidupan kita, terutama untuk semakin memanusiakan manusia. Makna dari Tatung tersebut tentu sudah dihidupi oleh masyarakat Tionghoa itu sendiri dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun penulis ingin makna Tatung ini juga diketahui oleh orang lain di luar masyarakat Tionghoa. Penulis juga bukan termasuk ke dalam suku Tionghoa, namun penulis hanya tertarik dengan budaya Tatung dan ingin mendalami atau mencari makna filosofis yang terkandung dalam Tatung.
Â
Tradisi Tatung
Pawai tatung atau tradisi tatung adalah suatu tradisi menusuk dan mengiris badan dengan benda-benda tajam seperti parang (mandau), susuk lidi dari besi, dan paku. Kebiasaan atau tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di kota Singkawang. Tradisi ini dilaksanakan pada saat perayaan festival Cap Go Meh pada hari ke lima belas setelah tahun Imlek. Dalam bahasa Hakka, Tatung merupakan orang yang dirasuki oleh roh dewa atau leluhur. Maka tatung disebut sebagai titisan dewa. Untuk memanggil roh dewa itu dilakukan dengan mantra-mantra tertentu.[5] Setelah dimasuki oleh roh dewa dan nenek moyang, seorang tatung akan mengalami kekebalan dalam tubuhnya. Maka setelah itu seorang tatung akan menyiksa dirinya dengan mengiris dan menusuk badannya dengan benda tajam.
Â
Sejarah singkat Tatung
Untuk pertama kali etnis Tionghoa datang ke Singkawang itu diundang oleh Sultan Brunei dan berkerja sebagai penambang emas di Monterado, Kalimantan Barat. Pada mulanya etnis Tionghoa hanya berkerja sebagai penambang emas di kawasan Monterado. Pada waktu berkerja mereka mengalami wabah penyakit yang banyak menimbulkan atau menyebabkan kematian. Memang kala itu penyakit-penyakit yang menimpa masyarakat atau manusia itu sangat mematikan sekali. Bisanya penyakit yang ganas tersebut sekali setahun menimpa warga masyarakat kampung. Maka setiap kampung pasti pernah mengalami kejadian yang sama, ada yang sakit berkepanjangan, ada yang tiba-tiba meninggal dunia, dan lain sebagainya. Ketika datang penyakit seperti itu, setiap daerah memiliki cara pengobatan secara tradisional. Itulah yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Monterado, mereka melakukan berbagi ritual. Tapi penyakit itu dapat disembuhkan oleh tabib atau sekarang lebih dikenal dengan Tatung. [6]
Jadi setiap kali ada penyakit datang menimpa kampung Tionghoa dan penyakit-penyakit lainnya. Untuk menyembuhkan itu masyarakat Tionghoa pasti memanggil Tatung tersebut. Berkat keahlian Tatung itu yang membuat masyarakat Tionghoa mempercayainya sampai saat ini. Tatung itu menjadi berkembang, bukan hanya untuk menyembuhkan penyakit saja, melainkan bisa untuk mengusir roh-roh jahat lainnya.[7] Tatung juga bisa untuk melihat hari-hari baik untuk pernikahan dan bisa menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kelurga. Melihat begitu baik dan bermanfaat-nya Tatung tersebut, maka oleh masyarakat Tionghoa dijadikan tradisi tahunan.Â
Setelah mengalami keberhasilan atau kemajuan sebagai penambang emas di Monterado. Masyarakat Tionghoa pindah ke Singkawang dan menetap sampai sekarang di Singkawang. Di Singkawang mereka tidak lagi sebagai penambang emas, sebagian mereka menjadi pedagang dan sebagian mereka juga sudah kerja dikantor. Walaupun sudah pindah ke Singkawang, mereka tetap mempertahankan kebudayaan Tatung tersebut. Bahkan perayaan tatung itu dibuat lebih meriah dan diikuti oleh seluruh masyarakat Tionghoa. Perayaan tatung itu dibuat bersamaan dengan perayaan Cap Go Meh sehingga lebih meriah dan di kolaborasi dengan tabib orang dayak.
Untuk menjadi seorang tatung bukan bisa sembarangan orang dan juga tidak dipelajari oleh orang lain, menjadi tatung merupakan orang yang ditunjuk atau dipilih oleh dewa untuk membantu orang yang mengalami kesusahan dan menyembuhkan segala penyakit. Tatung juga bisa dari keturunan atau dari para leluhur zaman dahulu yang di wariskan kepada anak cucu sampai saat ini. Maksudnya disini ialah orang yang keturunannya atau nenek moyang mereka dulu menjadi tatung, maka keturunannya sekarang bisa menjadi tatung.[8] Sebab untuk menjadi tatung tidak sembarangan orang, orang yang menjadi tatung merupakan seseorang yang menjadi titisan dewa.Â
Â
Tatung: Perekat Budaya Di Singkawang
Kota Singkawang merupakan salah satu kota yang sangat maju di antara kota-kota lain di Kalimantan Barat. Selain dijuluki sebagai kota amoi karena kehidupan masyarakat Tionghoa merupakan ciri khas kota ini, kota Singkawang juga dijuluki sebagai kota toleransi karena masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai toleransi. Salah satu perekat toleransi ini ialah kebudayaan yang ada di kota tersebut. Melalui kebudayaan-kebudayaan itu mereka coba realisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Maka pemerintahan kota Singkawang sangat mendukung kegiatan-kegiatan kebudayaan yang ada di kota tersebut.[9] Salah satu budaya yang sangat dinanti-nantikan di kota Singkawang ialah budaya pawai tatung. Budaya pawai tatung inilah salah satu budaya sebagai perekat keberagaman yang ada di kota Singkawang.
Pawai tatung di kota Singkawang menjadi sangat unik karena ternyata tidak hanya melibatkan etnis Tionghoa saja sebagai pembawa atau sebagai tokoh tradisi. Tetapi untuk saat ini pawai tatung telah melibatkan etnis Dayak di dalam perayaannya. Hal ini tampak pada kostum yang dipakai para tatung yang tidak hanya bernuansa Tionghoa tapi juga pakaian etnis Dayak. Pawai tatung diadakan di pusat di pusat kota Singkawang dan untuk start dimulainya di Vihara bumi raya Singkawang.[10] Yang bergabung di dalam kepanitiaan, anggota dan peserta pawai tatung tidak hanya didominasi oleh etnis Tionghoa atau etnis Dayak, melainkan keduanya berintegrasi untuk mewujudkan kebersamaan, tidak membeda-bedakan satu sama lain demi lancarnya sebuah acara atau kegiatan pawai Tatung yang dilakukan untuk memperingati Cap Go Meh. Pawai tatung merupakan gambaran masyarakat yang pluralis serta kerukunan umat beragama dan etnis di kota Singkawang. Acara pawai tatung telah menjadi agenda tahunan yang selalu diselenggarakan oleh etnis Tionghoa dengan bekerjasama dengan pemerintah kota.
Â
Tatung: Sebagai Proses Humanisasi
Kalau kita melihat proses sejarah dari terbentuknya tatung diatas sangat jelas bagi kita bahwa keberadaan tatung sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia khususnya bagi masyarakat etnis Tionghoa. Adanya tatung justru untuk menjawab atau untuk memenuhi kehidupan manusia. Keberadaan tatung sungguh memanusiakan manusia, sebab keberadaannya itu untuk membantu manusia, terutama bagi mereka yang mengalami kesusahan dan terkena penyakit. Sebagai titisan dewa yang hidup di dunia ini, tatung sangat membantu kehidupan masyarakat Tionghoa. Apalagi kala itu belum ada rumah sakit seperti sekarang ini tentu tatung sangat berguna sekali untuk menyembuhkan.[11]
Menyembuhkan mereka yang sakit dengan tatung merupakan upaya untuk menyelamatkan jiwa manusia. Maka sebagai titisan dewa tatung menyelamatkan jiwa manusia. Selain itu tatung juga menentukan tanggal yang baik untuk perkawinan. Maka kalau dilihat dari fungi dari tatung itu sendiri ialah sangat memanusiakan hidup manusia. Hal semacam ini tidak bisa kita sangkal, sebab adanya tatung itu dikarenakan kebutuhan manusia itu sendiri.
Â
Tatung: Sebagai Pertumbuhan Ekonomi
Pada zaman modern saat ini semua sektor kehidupan manusia mengalami perubahan yang sangat signifikan. Demikian juga halnya dengan kebudayaan yang dihidupi oleh masyarakat juga mengalami perubahan. Hal yang demikianlah yang terjadi pada budaya tatung di Singkawang. Untuk zaman modern saat ini tatung bukan lagi menjadi tradisi yang begitu sakral seperti zaman dahulu. Sebab tatung mengalami perubahan, terutama dalam sisi perayaannya atau dalam pawai. Untuk saat ini pawai tatung hanya dianggap sebagai pameran orang yang mengiris badanya menggunakan mandau, dudu diatas paku, dan menusuk diri dengan besi yang tajam.[12] Kegiatan seperti itulah yang dipertontonkan kepada masyarakat kota Singkawang. Maka tidak heran kalau tatung sangat dinantikan oleh masyarakat pencinta tatung. Dengan perkembangan tersebut membuat tatung bukan menjadi sesuatu yang begitu sakral lagi, melainkan hanya sebagai pameran atau tonton bagi masyarakat.Â
Karena hanya sebagai pemeran belaka, maka perayaan tatung sangat dinantikan oleh masyarakat Singkawang bahkan perayaan tatung sampai kepada tingkat internasional. Maka pada perayaan tatung bisanya kota Singkawang dipenuhi oleh orang-orang di luar kota Singkawang, bahkan para turis dari luar negeri pun datang menyaksikan pemeran tatung. Pameran tatung sungguh menarik, sehingga menggugah para pencinta tatung untuk menyaksikan. Â Maka tidak heran jika perayaan tatung, kota Singkawang dipenuhi oleh ribuan masyarakat. Biasanya hotel-hotel sudah penuh jika menyambut perayaan tatung.[13] Oleh sebab itu, jika ingin menikmati perayaan tatung, maka harus datang seminggu sebelum perayaan tatung dilaksanakan.Â
Maka berdasarkan uraian diatas sangat tampak bahwa melaui pawai tatung secara tidak langsung menumbuhkan ekonomi masyarakat Singkawang. Sebab mayoritas masyarakat Tionghoa di Singkawang berkerja sebagai pedagang. Dengan banyaknya masyarakat yang datang ke kota Singkawang untuk menyaksikan pemeran pawai tatung. Maka secara tidak langsung akan terjadinya transaksi atau jual beli dalam masyarakat, dengan demikian maka pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan.
Â
KesimpulanÂ
Sebagai sebuah tradisi yang diyakini memiliki kekuatan yang luar biasa. Tatung merupakan salah satu tradisi atau kebudayaan Tionghoa yang sangat memiliki makna yang luar biasa. Tatung digunakan untuk menyembuhkan segala penyakit dan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh keluarga. Selain itu pawai tatung juga guna membersihkan kampung atau kota dari segala penyakit yang menimpa kota tersebut. Namun pada zaman modern saat ini perayaan pawai tatung sangat dinanti-nantikan oleh para pencinta tatung. Perkembangan zaman juga cukup mempengaruhi kebudayaan Tionghoa, termasuk-lah pawai tatung. Namun budaya tatung tidak kehilangan makna bagi masyarakat Tionghoa. Adapun makanya ialah sebagai perekat kebudayaan dan sebagai proses humanisasi.
Â
Sumber:
Hidir, Achmad, Antropologi Budaya: Perspektif Ekologi dan Perubahan Budaya. Pekan Baru: CV Witra Irzani, 2009.
Irwan, Dinamika dan Perubahan Sosial Pada Komunitas Lokal. Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2018.
Ihromi, T.O. (ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 1980.
Mulyana, Deddy dan Jalauddin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.
Permatasari, Yulita. D. dan Hera Yulita, Tatung: Perekat Budaya di Singkawang. Jurnal Ilmu-ilmu Sosial.
Rahmayani, Any, Pemukiman Tionghoa di Singkawang dari Masa Kongsi Hingga Masa Kolonial. Sinkawang: Penerbit Ombak, 2014.
Suryadi, Fitria Ferliana, Tatung Sebagai Budaya Masyarakat Tionghoa. Jurnal Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara.
Tanggok, M. Ikhsan, Agama dan Kebudayaan Orang Hakka di Singkawang. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2017.
Usman, Syafaruddin, Masyarakat Sejarah dan Kebudayaan Tionghoa di Kalimantan Barat. Pontianak: Pustaka Pedas, 2008.
Â
Â
Â
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI