Pawai tatung atau tradisi tatung adalah suatu tradisi menusuk dan mengiris badan dengan benda-benda tajam seperti parang (mandau), susuk lidi dari besi, dan paku. Kebiasaan atau tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di kota Singkawang. Tradisi ini dilaksanakan pada saat perayaan festival Cap Go Meh pada hari ke lima belas setelah tahun Imlek. Dalam bahasa Hakka, Tatung merupakan orang yang dirasuki oleh roh dewa atau leluhur. Maka tatung disebut sebagai titisan dewa. Untuk memanggil roh dewa itu dilakukan dengan mantra-mantra tertentu.[5] Setelah dimasuki oleh roh dewa dan nenek moyang, seorang tatung akan mengalami kekebalan dalam tubuhnya. Maka setelah itu seorang tatung akan menyiksa dirinya dengan mengiris dan menusuk badannya dengan benda tajam.
Â
Sejarah singkat Tatung
Untuk pertama kali etnis Tionghoa datang ke Singkawang itu diundang oleh Sultan Brunei dan berkerja sebagai penambang emas di Monterado, Kalimantan Barat. Pada mulanya etnis Tionghoa hanya berkerja sebagai penambang emas di kawasan Monterado. Pada waktu berkerja mereka mengalami wabah penyakit yang banyak menimbulkan atau menyebabkan kematian. Memang kala itu penyakit-penyakit yang menimpa masyarakat atau manusia itu sangat mematikan sekali. Bisanya penyakit yang ganas tersebut sekali setahun menimpa warga masyarakat kampung. Maka setiap kampung pasti pernah mengalami kejadian yang sama, ada yang sakit berkepanjangan, ada yang tiba-tiba meninggal dunia, dan lain sebagainya. Ketika datang penyakit seperti itu, setiap daerah memiliki cara pengobatan secara tradisional. Itulah yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Monterado, mereka melakukan berbagi ritual. Tapi penyakit itu dapat disembuhkan oleh tabib atau sekarang lebih dikenal dengan Tatung. [6]
Jadi setiap kali ada penyakit datang menimpa kampung Tionghoa dan penyakit-penyakit lainnya. Untuk menyembuhkan itu masyarakat Tionghoa pasti memanggil Tatung tersebut. Berkat keahlian Tatung itu yang membuat masyarakat Tionghoa mempercayainya sampai saat ini. Tatung itu menjadi berkembang, bukan hanya untuk menyembuhkan penyakit saja, melainkan bisa untuk mengusir roh-roh jahat lainnya.[7] Tatung juga bisa untuk melihat hari-hari baik untuk pernikahan dan bisa menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kelurga. Melihat begitu baik dan bermanfaat-nya Tatung tersebut, maka oleh masyarakat Tionghoa dijadikan tradisi tahunan.Â
Setelah mengalami keberhasilan atau kemajuan sebagai penambang emas di Monterado. Masyarakat Tionghoa pindah ke Singkawang dan menetap sampai sekarang di Singkawang. Di Singkawang mereka tidak lagi sebagai penambang emas, sebagian mereka menjadi pedagang dan sebagian mereka juga sudah kerja dikantor. Walaupun sudah pindah ke Singkawang, mereka tetap mempertahankan kebudayaan Tatung tersebut. Bahkan perayaan tatung itu dibuat lebih meriah dan diikuti oleh seluruh masyarakat Tionghoa. Perayaan tatung itu dibuat bersamaan dengan perayaan Cap Go Meh sehingga lebih meriah dan di kolaborasi dengan tabib orang dayak.
Untuk menjadi seorang tatung bukan bisa sembarangan orang dan juga tidak dipelajari oleh orang lain, menjadi tatung merupakan orang yang ditunjuk atau dipilih oleh dewa untuk membantu orang yang mengalami kesusahan dan menyembuhkan segala penyakit. Tatung juga bisa dari keturunan atau dari para leluhur zaman dahulu yang di wariskan kepada anak cucu sampai saat ini. Maksudnya disini ialah orang yang keturunannya atau nenek moyang mereka dulu menjadi tatung, maka keturunannya sekarang bisa menjadi tatung.[8] Sebab untuk menjadi tatung tidak sembarangan orang, orang yang menjadi tatung merupakan seseorang yang menjadi titisan dewa.Â
Â
Tatung: Perekat Budaya Di Singkawang
Kota Singkawang merupakan salah satu kota yang sangat maju di antara kota-kota lain di Kalimantan Barat. Selain dijuluki sebagai kota amoi karena kehidupan masyarakat Tionghoa merupakan ciri khas kota ini, kota Singkawang juga dijuluki sebagai kota toleransi karena masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai toleransi. Salah satu perekat toleransi ini ialah kebudayaan yang ada di kota tersebut. Melalui kebudayaan-kebudayaan itu mereka coba realisasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Maka pemerintahan kota Singkawang sangat mendukung kegiatan-kegiatan kebudayaan yang ada di kota tersebut.[9] Salah satu budaya yang sangat dinanti-nantikan di kota Singkawang ialah budaya pawai tatung. Budaya pawai tatung inilah salah satu budaya sebagai perekat keberagaman yang ada di kota Singkawang.
Pawai tatung di kota Singkawang menjadi sangat unik karena ternyata tidak hanya melibatkan etnis Tionghoa saja sebagai pembawa atau sebagai tokoh tradisi. Tetapi untuk saat ini pawai tatung telah melibatkan etnis Dayak di dalam perayaannya. Hal ini tampak pada kostum yang dipakai para tatung yang tidak hanya bernuansa Tionghoa tapi juga pakaian etnis Dayak. Pawai tatung diadakan di pusat di pusat kota Singkawang dan untuk start dimulainya di Vihara bumi raya Singkawang.[10] Yang bergabung di dalam kepanitiaan, anggota dan peserta pawai tatung tidak hanya didominasi oleh etnis Tionghoa atau etnis Dayak, melainkan keduanya berintegrasi untuk mewujudkan kebersamaan, tidak membeda-bedakan satu sama lain demi lancarnya sebuah acara atau kegiatan pawai Tatung yang dilakukan untuk memperingati Cap Go Meh. Pawai tatung merupakan gambaran masyarakat yang pluralis serta kerukunan umat beragama dan etnis di kota Singkawang. Acara pawai tatung telah menjadi agenda tahunan yang selalu diselenggarakan oleh etnis Tionghoa dengan bekerjasama dengan pemerintah kota.