Mohon tunggu...
Agustinus Daniel
Agustinus Daniel Mohon Tunggu... -

Credo ut Intelligam - Aku percaya maka aku mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Heterodoksi, Konsili Vatikan II, dan Kutukan Rasul Paulus (bagian 4 - habis)

1 Oktober 2015   07:36 Diperbarui: 1 Oktober 2015   08:03 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang kita kembali pada persoalan krisis yang diungkapkan oleh tiga orang kardinal dan uskup. Krisis ini sebenarnya hanyalah buah dari rentetan penyesatan yang masuk ke dalam Gereja dengan cara sama seperti saat iblis pertama kali menyesatkan manusia: melalui sisi feminin Gereja, yaitu Konsili Vatikan II.

Semua orang mengakui bahwa dokumen-dokumen KVII bersifat ambigu, pastoral, ekumenis, tidak merumuskan kebenaran baru dan tidak mengutuk kesesatan apapun. Itu adalah karakter feminin. Semangat ini sangat berbeda dengan semua konsili Gereja sebelumnya yang bersifat tegas dengan merumuskan kebenaran dan mengutuk berbagai kesesatan yang terjadi pada jamannya. Itu adalah karakter maskulin Gereja.

Dari KVII yang berkarakter feminin inilah penyesatan iblis berhasil masuk. Maka bukan sesuatu yang aneh jika Paus Paulus VI berkata, "Asap setan telah masuk ke dalam Gereja..." Sifatnya yang ambigu membuat banyak orang kehilangan daya kritisnya untuk menolak ajaran KVII karena sekilas 'tampak' sejalan dengan ajaran tradisional Gereja. Tapi di sisi lain ambiguitas ini dimanfaatkan secara maksimal oleh kaum modernis untuk membelokkan ajaran Gereja menurut agenda modernis mereka.

Setelah KVII, Gereja terkena demam 'aggiornamento' yang keranjingan pada gagasan-gagasan baru (novelty), dan sekaligus memandang rendah segala sesuatu yang berbau ajaran tradisional. Akibatnya terjadi diskontinuitas yang fatal. Gereja menjadi terasing dari ajaran tradisionalnya yang berfungsi menjamin kebenaran. Hilangnya tolok ukur kebenaran ini membuat berbagai pengaruh bidaah masuk dengan leluasa ke dalam Gereja nyaris tanpa hambatan.

Mulai dari Novus Ordo Missae yang tidak lain adalah protestanisasi liturgi Misa, lalu juga Evangelisasi Baru yang sudah kehilangan semangat penginjilannya, ekumenisme yang kebablasan dengan doa bersama banyak agama, gerakan karismatik yang dianggap sebagai Pentakosta kedua, dan kemudian sekarang ada upaya untuk mengubah ajaran Gereja tentang keluarga (termasuk tentang perkawinan).

Ini belum semua. Jika kita melihat Kitab Daniel ada dikatakan tentang dihentikannya kurban sehari-hari (Dan.8:12), maka perubahan selanjutnya kemungkinan besar adalah ajaran mengenai Sakramen Ekaristi. Dengan demikian penyangkalan terhadap kurban salib Kristus adalah puncak dari seluruh rangkaian bidaah ini.

Terpisahnya ajaran Gereja paska KVII dengan ajaran tradisionalnya bukanlah pendapat saya pribadi, tapi Paus Benediktus XVI yang mengkritik 'hermeneutic of rupture' atau penafsiran KVII yang terpisah dari ajaran tradisional Gereja. Itu dikatakannya karena melihat KVII telah ditafsirkan terpisah dari ajaran tradisional Gereja dan membuahkan banyak hal buruk. Paus Benediktus XVI mengingatkan hirarki untuk melakukan 'hermeneutic of continuity' dalam menerapkan KVII. Tapi siapa yang mau dengar?

Hampir semua orang lebih nyaman menafsirkan KVII lepas dari tradisi karena sepertinya memang untuk itulah KVII dirancang. Sebagian besar hirarki dan juga umat menganggap KVII membuat Gereja Katolik menjadi up-to-date, selaras dengan perkembangan jaman. Banyak yang tidak menyadari bahwa pandangan semacam itu berpotensi besar menjerumuskan Gereja dalam kesesatan akibat terpisah dari ajaran tradisionalnya.

Penafsiran yang berkesinambungan (hermeneutic of continuity) sebenarnya akan menjamin KVII diterapkan dengan benar sesuai dengan ajaran Gereja yang sesungguhnya. Tapi dengan penuh kesadaran banyak orang memilih melakukan diskontinuitas dari ajaran tradisional, atau dengan kata lain memilih bidaah.

Gagasan Paus Benediktus XVI untuk melakukan 'hermeneutic of continuity' serta keputusannya untuk menegaskan kembali Misa Latin tradisional sebagai liturgi yang sah dan tidak pernah dilarang membuat kaum modernis tidak nyaman. Tindakan Paus Benediktus XVI dapat membuat arah Gereja yang modernis jadi terhambat dan berbalik arah. Paus Benediktus XVI yang berupaya setia pada ajaran tradisional nyaris tidak mendapat dukungan siapapun dan akhirnya mengundurkan diri dengan alasan kesehatan.

Beberapa waktu yang lalu terjadi perkembangan cukup menarik dan menghebohkan. Kardinal Godfried Daneels dalam peluncuran buku biografinya mengakui bahwa dirinya bersama beberapa kardinal lain tergabung dalam kelompok yang menamakan diri St. Gallen, berupaya menggantikan Paus Benediktus XVI yang dianggap menghambat semangat modernisasi dalam Gereja dan menggantikannya dengan Kardinal Jorge Bergoglio yang lebih modernis. Ini seperti mengkonfirmasi kecurigaan Uskup Agung Jan Pavel Lenga bahwa pengunduran diri Paus Benediktus XVI bukan karena kehendak sendiri.

Sekarang setelah Kardinal Jorge Bergoglio menjadi Paus Fransiskus, kecenderungan terpisah dari tradisi yang ingin dihentikan oleh Paus Benediktus XVI tampaknya akan kembali dilanjutkan. Semangat ini cukup terlihat dalam berbagai tindakan dan kata-kata Paus Fransiskus. Misalnya saja dalam ensiklik Laudato Si:

"Our efforts at education will be inadequate and ineffectual unless we strive to promote a new way of thinking about human beings, life, society and our relationship with nature." (#215)

Paus Fransiskus mengajak kita untuk menerima semangat kebaruan, atau dengan kata lain terbuka pada cara berpikir yang baru dan sekaligus juga ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan baru tentunya.

Sebaliknya ketika memperingati 50 tahun Misa Novus Ordo, Paus Fransiskus mengatakan:

"This is important for us to follow the Mass in this way. It is not possible to go backward. We must always go forward. Always forward. And those who go backward are mistaken..."

Paus Fransiskus memberi isyarat kepada Gereja untuk maju dan tidak berpaling pada ajaran tradisional yang sudah 'ketinggalan jaman'.

Tawaran untuk terbuka pada gagasan baru dan ajakan untuk lepas dari tradisi, itulah semangat yang dibawa oleh Paus Fransiskus. Sangat berbeda sekali dengan pendahulunya, Paus Benediktus XVI, yang dengan susah payah justru ingin mengembalikan Gereja pada akar ajaran tradisionalnya sehingga setiap perubahan yang terjadi tetap merupakan kesatuan yang tak terputus dari kebenaran sebelumnya.

Lalu sebagai umat apa yang harus kita lakukan dengan segala gagasan kebaruan dan perubahan yang ditawarkan oleh hirarki? Apakah demi ketaatan pada hirarki kita mengikuti ajaran-ajaran yang berbeda dengan ajaran tradisional Gereja ATAU sebaliknya kita harus taat pada Kristus dengan tetap setia pada ajaran Gereja yang benar? Sebuah dilema yang sulit diputuskan.

Tapi bagaimanapun kita harus mengambil sikap. Dengan mendasarkan pada perkataan Rasul Paulus dalam Galatia 1:8-9, saya memilih untuk setia pada ajaran tradisional Gereja sebab siapapun yang membawa ajaran baru yang berbeda dari ajaran tradisional yang sudah ada, termasuk jika ia mengaku rasul atau malaikat, sudah berada dalam kutukan Rasul Paulus. Orang seperti itu tentunya sudah kehilangan hak atas ketaatan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun