Sekarang kita kembali pada persoalan krisis yang diungkapkan oleh tiga orang kardinal dan uskup. Krisis ini sebenarnya hanyalah buah dari rentetan penyesatan yang masuk ke dalam Gereja dengan cara sama seperti saat iblis pertama kali menyesatkan manusia: melalui sisi feminin Gereja, yaitu Konsili Vatikan II.
Semua orang mengakui bahwa dokumen-dokumen KVII bersifat ambigu, pastoral, ekumenis, tidak merumuskan kebenaran baru dan tidak mengutuk kesesatan apapun. Itu adalah karakter feminin. Semangat ini sangat berbeda dengan semua konsili Gereja sebelumnya yang bersifat tegas dengan merumuskan kebenaran dan mengutuk berbagai kesesatan yang terjadi pada jamannya. Itu adalah karakter maskulin Gereja.
Dari KVII yang berkarakter feminin inilah penyesatan iblis berhasil masuk. Maka bukan sesuatu yang aneh jika Paus Paulus VI berkata, "Asap setan telah masuk ke dalam Gereja..." Sifatnya yang ambigu membuat banyak orang kehilangan daya kritisnya untuk menolak ajaran KVII karena sekilas 'tampak' sejalan dengan ajaran tradisional Gereja. Tapi di sisi lain ambiguitas ini dimanfaatkan secara maksimal oleh kaum modernis untuk membelokkan ajaran Gereja menurut agenda modernis mereka.
Setelah KVII, Gereja terkena demam 'aggiornamento' yang keranjingan pada gagasan-gagasan baru (novelty), dan sekaligus memandang rendah segala sesuatu yang berbau ajaran tradisional. Akibatnya terjadi diskontinuitas yang fatal. Gereja menjadi terasing dari ajaran tradisionalnya yang berfungsi menjamin kebenaran. Hilangnya tolok ukur kebenaran ini membuat berbagai pengaruh bidaah masuk dengan leluasa ke dalam Gereja nyaris tanpa hambatan.
Mulai dari Novus Ordo Missae yang tidak lain adalah protestanisasi liturgi Misa, lalu juga Evangelisasi Baru yang sudah kehilangan semangat penginjilannya, ekumenisme yang kebablasan dengan doa bersama banyak agama, gerakan karismatik yang dianggap sebagai Pentakosta kedua, dan kemudian sekarang ada upaya untuk mengubah ajaran Gereja tentang keluarga (termasuk tentang perkawinan).
Ini belum semua. Jika kita melihat Kitab Daniel ada dikatakan tentang dihentikannya kurban sehari-hari (Dan.8:12), maka perubahan selanjutnya kemungkinan besar adalah ajaran mengenai Sakramen Ekaristi. Dengan demikian penyangkalan terhadap kurban salib Kristus adalah puncak dari seluruh rangkaian bidaah ini.
Terpisahnya ajaran Gereja paska KVII dengan ajaran tradisionalnya bukanlah pendapat saya pribadi, tapi Paus Benediktus XVI yang mengkritik 'hermeneutic of rupture' atau penafsiran KVII yang terpisah dari ajaran tradisional Gereja. Itu dikatakannya karena melihat KVII telah ditafsirkan terpisah dari ajaran tradisional Gereja dan membuahkan banyak hal buruk. Paus Benediktus XVI mengingatkan hirarki untuk melakukan 'hermeneutic of continuity' dalam menerapkan KVII. Tapi siapa yang mau dengar?
Hampir semua orang lebih nyaman menafsirkan KVII lepas dari tradisi karena sepertinya memang untuk itulah KVII dirancang. Sebagian besar hirarki dan juga umat menganggap KVII membuat Gereja Katolik menjadi up-to-date, selaras dengan perkembangan jaman. Banyak yang tidak menyadari bahwa pandangan semacam itu berpotensi besar menjerumuskan Gereja dalam kesesatan akibat terpisah dari ajaran tradisionalnya.
Penafsiran yang berkesinambungan (hermeneutic of continuity) sebenarnya akan menjamin KVII diterapkan dengan benar sesuai dengan ajaran Gereja yang sesungguhnya. Tapi dengan penuh kesadaran banyak orang memilih melakukan diskontinuitas dari ajaran tradisional, atau dengan kata lain memilih bidaah.
Gagasan Paus Benediktus XVI untuk melakukan 'hermeneutic of continuity'Â serta keputusannya untuk menegaskan kembali Misa Latin tradisional sebagai liturgi yang sah dan tidak pernah dilarang membuat kaum modernis tidak nyaman. Tindakan Paus Benediktus XVI dapat membuat arah Gereja yang modernis jadi terhambat dan berbalik arah. Paus Benediktus XVI yang berupaya setia pada ajaran tradisional nyaris tidak mendapat dukungan siapapun dan akhirnya mengundurkan diri dengan alasan kesehatan.
Beberapa waktu yang lalu terjadi perkembangan cukup menarik dan menghebohkan. Kardinal Godfried Daneels dalam peluncuran buku biografinya mengakui bahwa dirinya bersama beberapa kardinal lain tergabung dalam kelompok yang menamakan diri St. Gallen, berupaya menggantikan Paus Benediktus XVI yang dianggap menghambat semangat modernisasi dalam Gereja dan menggantikannya dengan Kardinal Jorge Bergoglio yang lebih modernis. Ini seperti mengkonfirmasi kecurigaan Uskup Agung Jan Pavel Lenga bahwa pengunduran diri Paus Benediktus XVI bukan karena kehendak sendiri.