Bentuk doa seperti ini sebenarnya muncul secara alamiah begitu saja karena para pertapa ini hidup menyendiri dan jauh dari komunitas, sehingga mereka sangat jarang menghadiri upacara-upacara liturgi yang biasa. Selain itu, seperti juga St. Antonius, banyak diantara pertapa tersebut yang buta huruf sehingga bentuk doa singkat yang diulang-ulang menjadi cara berdoa yang paling praktis dan paling populer.
Formula yang digunakan dalam doa singkat ini juga berkembang dari waktu ke waktu, hingga akhirnya menjadi sebuah bentuk doa dengan rumusan standar, yang kemudian dikenal sebagai “Doa Yesus”:
“Tuhan Yesus Kristus Putra Allah, kasihanilah aku orang berdosa”
Praktek Doa Yesus yang sederhana ini selanjutnya menjadi sangat populer di Gereja Timur sampai sekarang. Biasanya didaraskan dengan menggunakan komboskini, yaitu sebuah untaian tali dengan sejumlah simpul untuk membantu dalam menghitung jumlah pengulangan doa.
Jumlah simpulnya bervariasi, ada yang 33, 50, 100, atau 300. Fungsi komboskini ini mirip dengan untaian kalung rosario yang populer di Gereja Barat.
Di dalam komunitas-komunitas religius seperti di biara pertapaan Gunung Athos, Doa Yesus ini didaraskan sampai ribuan kali setiap hari. Karena bentuknya yang sederhana dan mudah, Doa Yesus ini tidak hanya dipraktekkan oleh para pertapa dan kaum religius, tapi juga di oleh kaum awam. Demikianlah kira-kira gambaran singkat perkembangan doa batin di dalam tradisi Gereja Timur.
Doa Rosario, doa batin dari tradisi Gereja Barat
Semangat doa dalam keheningan di Gereja Barat juga berkembang, tapi dengan arah yang berbeda. Tradisi doa batin di Gereja Barat ini telah menghasilkan sebuah doa luar biasa yang sekarang kita kenal sebagai Doa Rosario.
Dalam beberapa dokumen resmi Gereja, menurut sejarahnya Doa Rosario diberikan secara langsung oleh Bunda Maria kepada St. Dominikus melalui sebuah penglihatan. Doa Rosario ini diajarkan oleh Bunda Maria untuk digunakan dalam upayanya melawan bidaah albigensianisme pada tahun 1213.
Tapi banyak sumber lain mengatakan bahwa Doa Rosario senbenarnya juga terbentuk secara bertahap melalui proses yang panjang jauh sebelum itu. Dan setelah St. Dominikus menggunakannya dalam melawan bidaah, bentuk Doa Rosario juga masih terus berkembang sebelum mencapai bentuk yang sekarang kita kenal.
Cikal bakal Doa Rosario berasal dari kebiasaan para religius untuk mendaraskan 150 mazmur setiap hari. Kebiasaan ini menarik perhatian umat sehingga mereka ingin mengikutinya. Namun karena sebagian besar umat pada masa itu buta huruf, maka mereka yang ingin mengikuti kebiasaan itu mengganti pembacaan Mazmur dengan Doa Bapa Kami yang lebih sederhana dan mudah dihafal. Untuk membantu menghitung jumlah doa, mereka menggunakan untaian kalung dengan 150 butir manik-manik. Untaian kalung tersebut pada masa itu dikenal dengan istilah ‘Paternoster’.