Mohon tunggu...
Agustinus Daniel
Agustinus Daniel Mohon Tunggu... -

Credo ut Intelligam - Aku percaya maka aku mengerti.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Meditasi Yesus #2 - Doa Dan Keheningan Dalam Tradisi Gereja

22 Juli 2015   13:44 Diperbarui: 22 Juli 2015   13:44 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini ‘keheningan’merupakan kata yang semakin sulit dipahami maknanya, terutama bagi orang-orang modern yang menjalani kehidupan dengan irama cepat. Sepertinya banyak orang modern yang merasa tidak nyaman dengan keheningan.

Banyak orang yang  juga semakin sulit membedakan antara pergi untuk beribadah kepada Tuhan di gereja dan pergi untuk menghadiri pesta rakyat atau pertemuan sosial. Sudah sangat umum kita melihat ada banyak sorak sorai, tepuk tangan, dan kegaduhan-kegaduhan lainnya di dalam gereja. Bahkan kadang juga ada hiburan musik yang meriah dan tari-tarian, seperti dalam sebuah konser. Padahal itu semua adalah bagian dari perayaan liturgi yang seharusnya kudus dan khidmat.

Keadaan seperti ini cukup banyak kita temukan dalam misa-misa karismatik di berbagai paroki. Bahkan dalam misa-misa non-karismatik juga mulai ada kecenderungan liturgi misa yang khidmat dan hening semakin ditinggalkan. Dan ironisnya, setelah menghadiri semua itu banyak orang yang sudah merasa telah memenuhi kewajibannya untuk berbakti pada Tuhan sebagai seorang pengikut Kristus. Tapi bagi sebagian orang yang lain, perayaan liturgi dengan semangat yang meriah dan semakin profan semacam ini menyisakan kekosongan batin dan dahaga spiritual yang tak terpuaskan.

Beruntunglah sejak Paus Benediktus XVI beberapa keuskupan mulai mempraktekkan kembali Misa Latin Tridentin yang sangat menghargai keheningan. Hanya sayangnya, kembali dipraktekkannya Misa Latin ini belum terasa signifikan dibandingkan perkembangan misa-misa meriah, misa-misa inkulturatif, atau misa-misa karismatik yang semakin banyak. Upaya kembalinya Gereja pada tradisinya yang lama seperti setetes embun di padang gurun....

Lalu menjadi pertanyaan, apakah kita sudah melupakan cara berdoa yang diajarkan Tuhan sendiri? Di dalam Injil Tuhan mengajarkan kita untuk berdoa dengan cara masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dimana kita dapat bertemu dengan Tuhan di tempat yang tersembunyi (Mat. 6:6). Dengan kata lain Tuhan mengajarkan kita untuk berdoa dalam keheningan batin, bukan dalam kegaduhan dan sorak-sorai yang meriah.

Lantas dimana keheningan itu sekarang? Bahkan di gereja sekalipun saat ini kita sudah sulit menemukannya. Pengaruh irama kehidupan modern yang cepat dan dinamis membuat banyak orang yang mulai melupakan makna pentingnya keheningan dalam membangun relasi dengan Tuhan Sang Pencipta.

Ada ungkapan "Lex Orandi Lex Credendi", cara kita berdoa mempengaruhi kualitas iman kita. Ketika kita kehilangan keheningan dalam berdoa maka kualitas iman kita juga menjadi pudar. Hidup kita kehilangan kekuatan rohaninya dan menjadi kering,

Kita membaca Kitab Suci, namun tidak mengerti maknanya. Kita mengetahui ajaran Yesus namun tidak memahami maksudnya dan tidak mampu menjalankannya. Kita memuji Tuhan dengan bibir namun hati kita semakin jauh dari Tuhan. Iman kita cenderung menjadi dangkal dan bersifat komestik, hanya bungkus... Akibatnya, kekayaan rohani yang tersedia di tempat yang dalam tidak tergali sama sekali dan menjadi sia-sia....

Sesungguhnya gereja yang kita kenal sekarang ini tidak muncul begitu saja, melainkan berasal dari suatu tradisi panjang selama berabad-abad. Oleh karenanya jika di gereja saat ini kita kesulitan menemukan semangat doa dalam keheningan, kita dapat berpaling dan belajar pada tradisi Gereja yang luar biasa kaya oleh harta rohani. Disanalah terdapat kekayaan doa batin yang menjadi sumber kekuatan rohani Gereja yang sesungguhnya.

Kita dapat memahami pentingnya keheningan dengan melihat analogi bayangan bulan di atas air. Pada malam hari, kita hanya bisa melihat bayangan bulan dengan jelas di atas air danau atau kolam yang tenang. Lemparkanlah sebuah batu kecil ke dalamnya hingga permukaannya tidak lagi tenang, maka bayangan bulan tadi akan kacau balau.

Demikian juga hanya dalam hati yang tenang, kita dapat lebih baik merasakan kehadiran Tuhan di dalam hati kita sehingga kita juga dapat berdoa kepada-Nya dengan lebih baik. Sebaliknya jika hati kita tidak tenang, kehadiran Tuhan juga sulit kita rasakan sehingga kitapun tidak dapat berdoa dengan baik. Sesederhana itu...

Itu sebabnya Tuhan Yesus sendiri sering pergi menyendiri untuk bisa memperoleh keheningan yang dibutuhkan agar Ia dapat berdoa kepada Bapa (lihat Mat. 14:23, Mrk. 1:35, dan lain-lain). Bahkan satu-satunya cara berdoa yang diajarkan Yesus yang tercatat dalam Injil adalah masuk ke dalam kamar dengan menutup pintu untuk berdoa kepada Bapa di tempat yang tersembunyi (Mat.6:6). Ini tidak lain adalah berdoa dalam keheningan batin.

Selain itu Rasul Petrus juga mengatakan, "Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa" (1Ptr.4:7). Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa berdoa dalam keheningan batin adalah cara berdoa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan diikuti juga oleh para murid-murid-Nya. Singkatnya, berdoa dalam keheningan batin adalah cara berdoa yang terbaik menurut Tuhan kita.

Memang tidak salah kita berdoa sambil bernyanyi, berdoa dengan penuh semangat, atau juga berdoa dengan bahasa roh ala karismatik. Tapi bagaimanapun cara berdoa yang terbaik adalah berdoa dalam keheningan batin. Tuhan Yesus telah mengajarkan kita untuk berdoa seperti itu, selain itu Ia sendiri juga mempraktekkannya, dan murid-murid juga mengikutinya. Kenyataan ini menginspirasi orang-orang Kristen awal untuk melakukan praktek serupa dengan menjalani kehidupan asketik untuk mengupayakan keheningan agar dapat berdoa seperti yang diajarkan Yesus.

Pada abad ketiga upaya untuk mencari keheningan batin ini memasuki tahap yang baru yang nantinya menjadi cikal bakal kehidupan monastik atau pertapaan. Suatu saat St. Antonius dari Mesir mendengarkan perintah Yesus dalam Injil, "Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." Perintah ini begitu menyentuh lubuk terdalam hatinya sehingga ia segera menjual semua kekayaan yang didapat dari harta warisan orang tuanya yang kaya dan memilih hidup sebagai pertapa di padang gurun.

Memang sejak awal sudah banyak orang Kristen yang memilih hidup asketik, tapi tidak secara ekstrim dengan menyendiri di padang gurun yang jauh dari komunitas. Cara hidup St. Antonius yang radikal ini menarik minat banyak orang untuk mengikutinya. Mereka berbondong-bondong datang ke sekitar pertapaan St. Antonius dan tinggal di sana untuk meminta bimbingannya. Hingga akhirnya terbentuklah komunitas pertapa yang menjadi inspirasi hidup doa Kekristenan. St. Antonius kemudian dikenal sebagai pelopor kehidupan monastik Gereja.

Meskipun demikian St. Antonius bukanlah orang Kristen pertama yang hidup bertapa di padang gurun. St. Paulus dari Thebes sudah melakukannya beberapa puluh tahun sebelumnya. Demi menghindari penganiayaan terhadap orang-orang Kristen pada masa Kaisar Decius, St. Paulus pergi menyendiri ke padang gurun dan tidak pernah kembali selama lebih dari 90 tahun lamanya. Ia hanya makan kurma serta setengah potong roti yang setiap hari dibawakan oleh seekor burung gagak.

Menjelang akhir hidupnya St. Paulus bertemu dengan St, Antonius yang mencarinya setelah mendapat petunjuk dari sebuah mimpi. Uniknya, burung gagak yang biasa membawakan St. Paulus setengah potong roti setiap hari, kini datang membawakan sepotong roti utuh untuk kedua orang suci tersebut. Tidak lama setelah pertemuan ini St. Paulus yang sudah sangat tua meninggal dunia, dan jasadnya dikuburkan oleh St. Antonius (yang juga sudah tua) dengan dibantu oleh dua ekor singa.

Dari pertemuan kedua orang suci inilah kita bisa mengenal kisah hidup St. Paulus Pertapa Pertama. Sementara itu kisah hidup St. Antonius sendiri ditulis oleh sahabatnya, St. Athanasius, yang tidak lain adalah seorang uskup suci penakluk bidaah arianisme.

Kedua orang suci ini, St. Antonius Bapa Kehidupan Monastik dan St. Paulus Pertapa Pertama, menjadi sumber inspirasi banyak orang Kristen untuk mengikuti cara berdoa sebagaimana yang diajarkan Tuhan Yesus, yaitu berdoa dalam keheningan. Cara berdoa seperti ini juga yang seharusnya tetap menjadi cara berdoa kita sekarang. Tidak ada cara berdoa yang lebih baik dari itu, jika ada tentu Tuhan Yesus sudah mengajarkannya.

(bersambung...)

Seri video Meditasi Yesus sudah bisa dilihat lengkap di youtube, seluruhnya ada 14 video. Gunakan keyword 'Meditasi Yesus' pada fasilitas search untuk menemukannya. Silahkan subscribe di channel video saya untuk memperolah video-video terbaru lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun