Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Penulis - Pensiunan

Pencinta membaca dan menulis, dengan karya narasi, cerpen, esai, dan artikel yang telah dimuat di berbagai media. Tertarik pada filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Berpegang pada moto: “Bukan banyaknya, melainkan mutunya,” selalu mengutamakan pemikiran kritis, kreatif, dan solusi inspiratif dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keheningan yang Menyelamatkan: Menemukan Emas dalam Diam

27 Januari 2025   04:30 Diperbarui: 26 Januari 2025   18:26 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang dipenuhi suara kendaraan, notifikasi ponsel, dan percakapan tanpa henti, keheningan seolah menjadi barang langka, padahal di balik diam tersembunyi kekuatan luar biasa. Keheningan memberi ruang untuk berhenti sejenak, mendengarkan, dan merasakan apa yang benar-benar penting, sebagaimana diingatkan oleh Santo Yohanes Krisostomus dalam kata-katanya, "Diam itu emas." Diam bukan sekadar berhenti berbicara, tetapi menjadi momen bagi pikiran dan jiwa untuk beristirahat, berkomunikasi dengan Tuhan, dan menemukan arah baru dalam hidup. Refleksi ini mengajak kita menyelami makna keheningan yang berharga, memahami bagaimana ia menjadi penyelamat di tengah kekacauan dunia, dan menyadari bagaimana keheningan membawa kita lebih dekat kepada Tuhan. 

Keheningan sebagai Ruang untuk Bertumbuh

Keheningan adalah waktu istimewa yang sering kali kita abaikan. Saat kita berhenti sejenak dari segala kesibukan, keheningan memberi ruang untuk merenung dan mengenali diri sendiri. Dalam diam, kita bisa bertanya: Apa yang benar-benar penting? Apa yang membuat hati ini tenang atau justru gelisah? Momen-momen ini membantu kita memahami diri lebih dalam, menggali apa yang mungkin terpendam di bawah lapisan rutinitas sehari-hari. 

Lebih dari sekadar mengenali diri, keheningan juga membuka jalan untuk mendengar suara hati---dan suara Tuhan. Saat dunia berhenti berisik, suara lembut yang sering terabaikan mulai terdengar. Itulah saat ketika Tuhan berbicara melalui perasaan, intuisi, atau firman-Nya yang terngiang dalam hati. Kadang, keheningan menjadi kesempatan kita akhirnya mendapat jawaban atas doa-doa yang sudah lama kita panjatkan. 

Seorang teman memilih pergi ke retret hening setelah merasa hidupnya kehilangan arah. Selama tiga hari tanpa ponsel dan percakapan, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan: dirinya sendiri. Di tengah sunyi, ia menyadari bahwa selama ini terlalu sibuk memuaskan harapan orang lain hingga lupa apa yang benar-benar ia inginkan. Dalam keheningan itu, ia menemukan bimbingan Tuhan untuk memulai langkah baru dalam hidupnya. 

Keheningan adalah guru yang sabar, memberimu waktu untuk tumbuh, mengenali kekuatan dan kelemahan, dan mendengarkan Tuhan yang selalu menunggu untuk membimbing. Pertanyaannya, kapan terakhir kali kita benar-benar memberi ruang bagi keheningan itu?

Keheningan yang Menyelamatkan

Ada kalanya, keheningan adalah jawaban terbaik. Misalnya, saat emosi sedang memuncak atau konflik tengah membara. Di saat seperti itu, berbicara sering kali justru memperkeruh suasana. Kata-kata yang terlontar tanpa pikir panjang bisa melukai, bahkan meninggalkan bekas yang sulit dihapus. Sebaliknya, memilih diam memberi kita waktu untuk menenangkan diri, mencerna apa yang terjadi, dan merespons dengan bijak. 

Keheningan juga menjadi perisai dari dosa yang lahir melalui ucapan sia-sia atau menyakitkan. Berapa banyak pertengkaran yang sebenarnya bisa dihindari jika kita memilih untuk tidak membalas dengan kata-kata yang tajam? Diam bukan berarti menyerah, melainkan sebuah bentuk kendali diri yang penuh kekuatan. Santo Yakobus pernah mengingatkan bahwa lidah, meski kecil, memiliki kuasa besar untuk membangun atau menghancurkan (Yak 3:1-6). Dengan memilih diam di saat-saat tertentu, kita telah melangkah menuju kebijaksanaan. 

Selain itu, keheningan membuka ruang untuk pengampunan dan pemulihan hubungan. Ketika seseorang melukai kita, respons alami adalah membalas atau mengungkapkan rasa sakit. Namun, keheningan memberi kesempatan untuk merenung, memahami sudut pandang orang lain, dan membiarkan hati melembut. Dalam diam, kita sering menemukan kekuatan untuk memaafkan, yang pada akhirnya memulihkan hubungan yang sempat retak. 

Namun, keheningan bukanlah tanda kelemahan. Ia adalah sebuah keputusan sadar untuk menciptakan kedamaian---bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga dalam diri sendiri. Dengan diam, kita tidak hanya menyelamatkan hubungan, tetapi juga menjaga hati kita tetap bersih dari luka yang tak perlu.

Keheningan dalam Kehidupan Spiritual

Keheningan adalah pintu menuju kehadiran Tuhan. Dalam hening, kita menemukan ruang untuk berdoa, bermeditasi, dan bertemu dengan Sang Pencipta. Di saat semua suara dunia mereda, hati kita menjadi lebih peka untuk mendengar suara-Nya. Doa yang disertai keheningan bukan sekadar rangkaian kata, tetapi sebuah percakapan yang tulus, di mana kita tidak hanya berbicara, tetapi juga mendengarkan. Dalam diam, kita merasakan kehadiran Tuhan yang lembut namun penuh kuasa. 

Gereja Katolik memiliki tradisi yang indah dalam memanfaatkan keheningan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Retret hening, misalnya, menjadi momen di mana kita meninggalkan kesibukan sehari-hari untuk sejenak fokus pada hubungan dengan Tuhan. Ibadah hening, seperti adorasi Sakramen Mahakudus, juga mengajak kita untuk merenung dalam keheningan, membiarkan Tuhan berbicara langsung kepada hati kita. Tradisi ini mengajarkan bahwa dalam diam, ada kedalaman yang tidak dapat ditemukan dalam kebisingan. 

Keheningan juga membantu menyelaraskan tubuh, pikiran, dan jiwa. Saat kita berhenti dari segala aktivitas dan membiarkan diri larut dalam hening, tubuh kita menemukan ketenangan, pikiran menjadi jernih, dan jiwa memperoleh kedamaian. Keheningan adalah tempat di mana kita bisa mengisi ulang energi rohani, seperti tanah kering yang menyerap air hujan. 

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, keheningan menjadi oase yang menenangkan. Ia membawa kita kembali ke inti kehidupan: hidup yang terhubung dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dan dengan orang lain. Mungkin, ini saatnya bagi kita untuk meluangkan waktu dalam hening, membiarkan Tuhan menyapa hati kita dengan lembut, dan menemukan harmoni di tengah segala kesibukan. 

Tantangan dan Solusi dalam Mempraktikkan Keheningan

Di tengah kehidupan modern yang serba sibuk, menjaga keheningan terasa seperti sebuah kemewahan. Kita dikelilingi oleh notifikasi ponsel, obrolan tanpa henti, dan hiruk-pikuk rutinitas. Kadang, bahkan ketika tidak ada suara di sekitar, pikiran kita sendiri terasa bising dengan berbagai kekhawatiran dan rencana. Tantangan ini membuat keheningan sulit diraih, meski hati sebenarnya merindukannya. 

Namun, keheningan bukanlah sesuatu yang mustahil. Untuk mencapai keheningan dan fokus pada diri sendiri, jauhkan ponsel dari jangkauan agar terhindar dari godaan untuk terus terhubung, dan tetapkan waktu khusus untuk berdiam diri, seperti setelah bangun pagi atau sebelum tidur, dengan duduk tenang dan menikmati keheningan tanpa gangguan. Jika suasana rumah terlalu ramai, cari tempat yang mendukung ketenangan, seperti taman, gereja, atau sudut rumah yang tenang, karena lingkungan hening memudahkan suasana kontemplatif. Selain itu, latih pikiran untuk tetap tenang meski di tempat yang sepi dengan fokus pada pernapasan atau mengucapkan doa singkat untuk membantu menenangkan hati.

Keheningan mungkin tidak datang dengan mudah, tetapi usaha untuk mencapainya sangatlah berharga. Dengan menciptakan ruang hening, kita tidak hanya memberi waktu bagi diri untuk beristirahat, tetapi juga membuka peluang untuk mendengar suara hati dan kehadiran Tuhan. Tantangan yang ada hanyalah pengingat bahwa keheningan adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.

Pada akhirnya, keheningan, seperti yang diibaratkan Santo Yohanes Krisostomus, adalah emas yang berharga, indah, dan menyelamatkan, karena di dalamnya kita menemukan ruang untuk merenung, mendengar suara hati, dan merasakan kehadiran Tuhan yang lembut. Keheningan bukanlah kekosongan, melainkan oase yang menyegarkan jiwa dan membawa kita menuju kedamaian sejati. Dengan memulai langkah sederhana seperti mematikan ponsel, menarik napas dalam, atau berdiam diri beberapa menit setiap hari, kita memberi ruang bagi Tuhan untuk berbicara, hati untuk pulih, dan jiwa untuk bertumbuh, menjadikan keheningan hadiah yang membantu kita lebih dekat dengan Tuhan dan damai dengan diri sendiri. (*)

Merauke, 27 Januari 2025

Agustinus Gereda

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun