Pada umumnya tradisi belis di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah simbol penghormatan dan ikatan keluarga, tetapi sering berubah menjadi beban ekonomi yang menghambat pasangan menikah secara sakramental di Gereja. Ketegangan antara adat dan ajaran Gereja ini membutuhkan peran kenabian Gereja untuk meneguhkan makna sakramen perkawinan sebagai panggilan ilahi, sambil menghormati nilai budaya. Tulisan ini menawarkan pemikiran untuk mereformasi tradisi belis agar tetap menjadi simbol kehormatan tanpa memberatkan, melalui kolaborasi antara Gereja dan masyarakat adat, sehingga iman dan budaya dapat berjalan harmonis.
Belis dalam Perspektif Adat dan Gereja
Makna Tradisional Belis: Ia memiliki makna mendalam sebagai simbol penghormatan kepada keluarga mempelai wanita dan pengikat kekeluargaan antara dua keluarga besar, mencerminkan nilai luhur seperti kebersamaan dan tanggung jawab sosial. Namun, belis kini sering berubah menjadi tuntutan ekonomi yang berat, diukur berdasarkan status sosial atau kemampuan finansial keluarga, sehingga menggeser maknanya menjadi beban yang memicu konflik, penundaan pernikahan, atau pengabaian sakramen perkawinan di Gereja.
Perspektif Gereja tentang Pernikahan Sakramental: Gereja Katolik memandang pernikahan sebagai sakramen suci yang merupakan panggilan ilahi untuk membangun keluarga Kristen yang berakar pada cinta dan iman. Namun, tuntutan belis yang berlebihan sering bertentangan dengan nilai-nilai Injil, menjadikan pernikahan urusan transaksional yang menghambat penerimaan sakramen perkawinan. Gereja bertanggung jawab membimbing umat agar tradisi belis tetap dihormati sebagai simbol budaya tanpa mengorbankan nilai sakramental, sehingga pernikahan dapat memuliakan Tuhan dan menciptakan harmoni antara adat dan iman.
Dampak Negatif Belis yang Berlebihan
Beban ekonomi: Tuntutan belis yang berlebihan merupakan beban ekonomi yang harus ditanggung oleh keluarga. Banyak yang merasa tertekan untuk memenuhi tuntutan belis yang tinggi, bahkan jika hal itu melampaui kemampuan mereka. Tekanan finansial ini tidak hanya menguras sumber daya keluarga, tetapi juga memicu konflik internal, terutama ketika kemampuan ekonomi yang terbatas tidak sejalan dengan ekspektasi adat. Dalam jangka panjang, beban ekonomi ini dapat menghambat kemajuan keluarga dan menciptakan ketegangan sosial di dalam komunitas.
Penundaan atau pengabaian Pernikahan Sakramental: Tuntutan belis yang belum terpenuhi sering menjadi penghalang bagi pasangan untuk melaksanakan pernikahan sakramental di Gereja. Dalam banyak kasus, adat mengharuskan penyelesaian belis sebelum upacara pernikahan dapat dilangsungkan, baik secara adat maupun di Gereja. Hal ini menyebabkan penundaan yang berkepanjangan, bahkan hingga bertahun-tahun, yang mengakibatkan pasangan hidup bersama tanpa ikatan sakramental. Lebih buruk lagi, ada pasangan yang akhirnya memutuskan untuk tidak menikah di Gereja sama sekali karena merasa tidak mampu memenuhi tuntutan adat. Situasi ini menempatkan pasangan dalam posisi yang rentan secara spiritual, karena mereka kehilangan kesempatan untuk menerima sakramen perkawinan yang merupakan tanda rahmat Tuhan dalam kehidupan mereka.
Pergeseran nilai tradisi: Pada awalnya, belis dimaksudkan sebagai simbol penghormatan dan ikatan kekeluargaan. Namun, dalam praktiknya, nilai tradisi ini sering bergeser menjadi sesuatu yang bersifat transaksional. Belis yang seharusnya melambangkan rasa hormat dan pengakuan terhadap keluarga mempelai wanita, kini lebih sering dipandang sebagai ajang untuk menunjukkan status sosial atau kemampuan ekonomi keluarga mempelai pria. Pergeseran ini mereduksi nilai budaya belis, mengubahnya menjadi beban material daripada simbol kehormatan. Akibatnya, makna spiritual dan sosial dari tradisi ini memudar, digantikan oleh fokus pada aspek ekonomi yang menciptakan jarak antara adat dan nilai-nilai Kristiani.
Peran Gereja dalam Mereformasi Tradisi Belis
Dampak-dampak negatif di atas menunjukkan bahwa tradisi belis, meskipun memiliki nilai budaya yang tinggi, perlu direformasi agar tidak lagi menjadi penghalang bagi umat untuk menjalani hidup sakramental sesuai ajaran Gereja.
Edukasi dan pendampingan pastoral: Gereja memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman yang mendalam kepada umat tentang makna sakramen perkawinan sebagai pusat kehidupan Kristiani. Melalui edukasi dan pendampingan pastoral, umat dapat diajak untuk memahami bahwa pernikahan bukan sekadar pemenuhan tuntutan adat, tetapi merupakan panggilan suci untuk membangun keluarga yang berakar pada cinta, iman, dan nilai-nilai Injil. Kursus pernikahan yang diselenggarakan Gereja dapat menjadi platform untuk mengintegrasikan nilai-nilai adat dan iman. Dalam kursus ini, pasangan calon pengantin bersama keluarga mereka dapat diajak berdialog tentang bagaimana tradisi belis dapat dijalankan secara simbolis tanpa menjadi beban yang memberatkan. Pendampingan pastoral ini juga dapat mencakup bimbingan praktis tentang pengelolaan keuangan untuk menghadapi tuntutan adat.
Liturgi yang mengintegrasikan tradisi: Gereja dapat mengakomodasi unsur budaya lokal dalam pernikahan gerejawi untuk menegaskan bahwa iman dan tradisi adat dapat berjalan beriringan. Misalnya, elemen simbolik dari tradisi belis dapat dimasukkan dalam upacara pernikahan, seperti penyerahan simbolis barang belis dalam konteks doa dan syukur. Dengan cara ini, nilai budaya tetap dihormati tanpa memberikan tekanan material kepada pasangan atau keluarga. Liturgi yang mengintegrasikan tradisi ini juga menjadi sarana untuk menunjukkan kepada komunitas bahwa Gereja tidak menolak adat, tetapi ingin membantu umat menjalani adat dalam terang ajaran Kristiani.
Dialog dengan tokoh adat dan komunitas: Perubahan tradisi belis hanya dapat terjadi melalui keterlibatan aktif tokoh adat dan komunitas. Gereja dapat memfasilitasi dialog dengan para tetua adat untuk menetapkan standar belis yang lebih realistis dan tidak memberatkan. Dialog ini dapat membuka ruang untuk mereformasi praktik belis agar tetap mencerminkan nilai penghormatan dan solidaritas tanpa menjadi beban ekonomi yang memberatkan. Melalui dialog ini, Gereja dapat berperan sebagai jembatan antara adat dan iman, membantu komunitas adat memahami pentingnya mendukung umat untuk menjalani pernikahan sakramental.
Advokasi dan bantuan sosial: Dalam kasus konflik terkait belis, Gereja dapat berperan sebagai mediator yang membantu keluarga menemukan solusi yang adil dan bijaksana. Pendampingan Gereja dalam menyelesaikan konflik ini menunjukkan kehadiran Gereja yang peduli terhadap umat, tidak hanya secara spiritual tetapi juga dalam persoalan sosial. Selain itu, Gereja juga dapat menyediakan bantuan sosial untuk keluarga yang benar-benar membutuhkan, seperti memberikan subsidi atau bantuan logistik untuk meringankan beban ekonomi mereka. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana Gereja dapat menjadi tempat perlindungan bagi umat yang mengalami kesulitan, sekaligus memperkuat hubungan antaranggota komunitas.
Saran untuk Mereformasi Tradisi Belis
Langkah-langkah di atas memperlihatkan peran signifikan Gereja dalam mereformasi tradisi belis, menjadikannya simbol penghormatan yang tetap relevan dengan ajaran Kristiani tanpa kehilangan nilai budayanya. Berikut, beberapa saran untuk mereformasi tradisi belis.
Menyeimbangkan adat dan iman: Meningkatkan kesadaran masyarakat atau umat bahwa belis adalah simbol penghormatan, bukan harga yang harus dibayar. Edukasi ini dapat dilakukan melalui program pastoral Gereja, yang mengajarkan nilai sakramen perkawinan sebagai wujud cinta sejati dan panggilan suci dari Tuhan. Pendekatan ini juga mengingatkan bahwa adat dan iman tidak harus bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi. Adat belis tetap bisa dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya, namun dengan menghilangkan elemen yang memberatkan atau memicu konflik ekonomi.
Mendorong standarisasi tradisi: Untuk mengatasi beban ekonomi yang disebabkan oleh tuntutan belis yang berlebihan, perlu ada upaya untuk menetapkan batasan yang realistis dan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga. Standarisasi ini mencakup (i) penentuan jumlah dan jenis barang belis berdasarkan kesepakatan komunitas adat, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi setempat; (ii) pengurangan tuntutan simbolik yang tidak relevan dengan konteks modern; (iii) penyesuaian tradisi belis agar lebih fleksibel dan inklusif bagi keluarga dengan latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Proses standarisasi ini harus dilakukan melalui dialog bersama tokoh adat, Gereja, dan masyarakat untuk memastikan bahwa semua pihak merasa dihargai dan terlibat.
Kolaborasi Gereja dan adat: Harmoni antara tradisi adat dan nilai-nilai Kristiani dapat diwujudkan melalui kolaborasi yang erat antara Gereja dan masyarakat adat. Gereja dapat bekerja sama dengan para tetua adat untuk merumuskan pendekatan baru terhadap belis, yang tetap menghormati nilai budaya, tetapi juga sejalan dengan ajaran Injil. Beberapa bentuk kolaborasi yang dapat dilakukan (i) workshop dan diskusi bersama untuk mencari solusi terbaik terkait pelaksanaan belis; (ii) penyesuaian liturgi pernikahan yang mengakomodasi elemen adat secara simbolis, tanpa memberatkan pasangan; (iii) program pendampingan bagi keluarga yang membutuhkan, dengan dukungan dari Gereja dan komunitas adat. Dengan demikian, Gereja dapat menunjukkan kepeduliannya terhadap budaya lokal sekaligus meneguhkan nilai sakramen perkawinan. Tradisi belis pun dapat terus dilestarikan sebagai simbol penghormatan, bukan beban, sehingga umat dapat menjalani hidup yang selaras dengan adat dan iman mereka.
Pada akhirnya, tradisi belis memiliki makna mendalam sebagai simbol penghormatan dan ikatan keluarga, tetapi praktik yang memberatkan dapat menggeser nilai luhurnya. Gereja memainkan peran kenabian sebagai agen perubahan dengan membantu umat memahami belis dalam terang nilai Injil melalui edukasi, dialog, dan kolaborasi dengan tokoh adat. Dengan pendekatan inklusif, tradisi belis tetap dapat dihormati tanpa menjadi penghalang bagi perayaan sakramen perkawinan, sehingga adat dan iman berjalan harmonis dalam kehidupan Kristiani. (*)
Merauke, 25 Januari 2025
Agustinus Gereda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI