Liturgi yang mengintegrasikan tradisi: Gereja dapat mengakomodasi unsur budaya lokal dalam pernikahan gerejawi untuk menegaskan bahwa iman dan tradisi adat dapat berjalan beriringan. Misalnya, elemen simbolik dari tradisi belis dapat dimasukkan dalam upacara pernikahan, seperti penyerahan simbolis barang belis dalam konteks doa dan syukur. Dengan cara ini, nilai budaya tetap dihormati tanpa memberikan tekanan material kepada pasangan atau keluarga. Liturgi yang mengintegrasikan tradisi ini juga menjadi sarana untuk menunjukkan kepada komunitas bahwa Gereja tidak menolak adat, tetapi ingin membantu umat menjalani adat dalam terang ajaran Kristiani.
Dialog dengan tokoh adat dan komunitas: Perubahan tradisi belis hanya dapat terjadi melalui keterlibatan aktif tokoh adat dan komunitas. Gereja dapat memfasilitasi dialog dengan para tetua adat untuk menetapkan standar belis yang lebih realistis dan tidak memberatkan. Dialog ini dapat membuka ruang untuk mereformasi praktik belis agar tetap mencerminkan nilai penghormatan dan solidaritas tanpa menjadi beban ekonomi yang memberatkan. Melalui dialog ini, Gereja dapat berperan sebagai jembatan antara adat dan iman, membantu komunitas adat memahami pentingnya mendukung umat untuk menjalani pernikahan sakramental.
Advokasi dan bantuan sosial: Dalam kasus konflik terkait belis, Gereja dapat berperan sebagai mediator yang membantu keluarga menemukan solusi yang adil dan bijaksana. Pendampingan Gereja dalam menyelesaikan konflik ini menunjukkan kehadiran Gereja yang peduli terhadap umat, tidak hanya secara spiritual tetapi juga dalam persoalan sosial. Selain itu, Gereja juga dapat menyediakan bantuan sosial untuk keluarga yang benar-benar membutuhkan, seperti memberikan subsidi atau bantuan logistik untuk meringankan beban ekonomi mereka. Pendekatan ini memperlihatkan bagaimana Gereja dapat menjadi tempat perlindungan bagi umat yang mengalami kesulitan, sekaligus memperkuat hubungan antaranggota komunitas.
Saran untuk Mereformasi Tradisi Belis
Langkah-langkah di atas memperlihatkan peran signifikan Gereja dalam mereformasi tradisi belis, menjadikannya simbol penghormatan yang tetap relevan dengan ajaran Kristiani tanpa kehilangan nilai budayanya. Berikut, beberapa saran untuk mereformasi tradisi belis.
Menyeimbangkan adat dan iman: Meningkatkan kesadaran masyarakat atau umat bahwa belis adalah simbol penghormatan, bukan harga yang harus dibayar. Edukasi ini dapat dilakukan melalui program pastoral Gereja, yang mengajarkan nilai sakramen perkawinan sebagai wujud cinta sejati dan panggilan suci dari Tuhan. Pendekatan ini juga mengingatkan bahwa adat dan iman tidak harus bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi. Adat belis tetap bisa dilestarikan sebagai bagian dari identitas budaya, namun dengan menghilangkan elemen yang memberatkan atau memicu konflik ekonomi.
Mendorong standarisasi tradisi: Untuk mengatasi beban ekonomi yang disebabkan oleh tuntutan belis yang berlebihan, perlu ada upaya untuk menetapkan batasan yang realistis dan sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga. Standarisasi ini mencakup (i) penentuan jumlah dan jenis barang belis berdasarkan kesepakatan komunitas adat, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi setempat; (ii) pengurangan tuntutan simbolik yang tidak relevan dengan konteks modern; (iii) penyesuaian tradisi belis agar lebih fleksibel dan inklusif bagi keluarga dengan latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Proses standarisasi ini harus dilakukan melalui dialog bersama tokoh adat, Gereja, dan masyarakat untuk memastikan bahwa semua pihak merasa dihargai dan terlibat.
Kolaborasi Gereja dan adat: Harmoni antara tradisi adat dan nilai-nilai Kristiani dapat diwujudkan melalui kolaborasi yang erat antara Gereja dan masyarakat adat. Gereja dapat bekerja sama dengan para tetua adat untuk merumuskan pendekatan baru terhadap belis, yang tetap menghormati nilai budaya, tetapi juga sejalan dengan ajaran Injil. Beberapa bentuk kolaborasi yang dapat dilakukan (i) workshop dan diskusi bersama untuk mencari solusi terbaik terkait pelaksanaan belis; (ii) penyesuaian liturgi pernikahan yang mengakomodasi elemen adat secara simbolis, tanpa memberatkan pasangan; (iii) program pendampingan bagi keluarga yang membutuhkan, dengan dukungan dari Gereja dan komunitas adat. Dengan demikian, Gereja dapat menunjukkan kepeduliannya terhadap budaya lokal sekaligus meneguhkan nilai sakramen perkawinan. Tradisi belis pun dapat terus dilestarikan sebagai simbol penghormatan, bukan beban, sehingga umat dapat menjalani hidup yang selaras dengan adat dan iman mereka.
Pada akhirnya, tradisi belis memiliki makna mendalam sebagai simbol penghormatan dan ikatan keluarga, tetapi praktik yang memberatkan dapat menggeser nilai luhurnya. Gereja memainkan peran kenabian sebagai agen perubahan dengan membantu umat memahami belis dalam terang nilai Injil melalui edukasi, dialog, dan kolaborasi dengan tokoh adat. Dengan pendekatan inklusif, tradisi belis tetap dapat dihormati tanpa menjadi penghalang bagi perayaan sakramen perkawinan, sehingga adat dan iman berjalan harmonis dalam kehidupan Kristiani. (*)
Merauke, 25 Januari 2025
Agustinus Gereda